Rabu, 01 Mei 2013

Lempuyangan- Ps. Senen; As Soon As Possible


Menengok Peran Pendidikan


“Mereka tahu hasil dari 2+2=4, tapi tak tahu mengapa 2x2 juga sama dengan 4”
Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 3

Bicara perkembangan seni rupa Indonesia saat ini, berarti juga menelisik institusi pendidikan yang melatarbelakanginya, sebuah lembaga yang menjanjikan ilmu sesuai bidangnya sehingga menghasilkan seorang individu yang kompeten sesuai bidang ilmu yang digelutinya pula.

Pelajaran seni di sekolah, saat ini, dirangkum dalam sebuah mata pelajaran bernama Seni dan Budaya. Cakupan materinya meliputi berbagai disiplin ilmu seni, seperti seni rupa, seni musik, dan seni tari. Beragamnya disiplin ilmu yang diajarkan tersebut berbanding terbalik dengan waktu mengajar yang diberikan oleh sistem pendidikan di sekolah, yaitu 2x45 menit/kelas dalam satu kali pertemuan tiap minggunya. Dengan terbatasnya waktu mengajar tersebut, apakah peserta didik akan dapat memahami seluruh materi yang diberikan?

Sementara itu, berbicara tentang faktor pengajar (guru), tidak semuanya menguasai seluruh subdisiplin ilmu yang terdapat dalam mata pelajaran Seni dan Budaya. Biasanya, para pengajar tersebut cenderung hanya menguasai satu subdisiplin ilmu, sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Sebagai contoh, seorang pengajar Seni dan Budaya lulusan fakultas seni rupa tentu akan lebih sering membahas berbagai karya seni rupa di hadapan para muridnya. Sementara itu, seorang pengajar lulusan fakultas seni musik tentunya akan lebih sering membicarakan sejarah dan perkembangan seni musik ketimbang bicara seni rupa. Sebuah ironi apabila di suatu sekolah tidak ada filterisasi ketat mengenai kompetensi pengajar yang sesuai, apalagi jika sekolah tersebut hanya memprioritaskan satu disiplin ilmu. Nantinya, bisa saja terjadi seorang lulusan seni rupa mengajar seni musik, maupun sebaliknya. Lalu, bagaimana para peserta didik dapat menerima ilmu yang kompeten dari pengajar yang kompeten pula?

Apakah seni hanya dianggap sebagai mata pelajaran “kelas bawah” pada sistem pendidikan di Indonesia? Lalu, sebenarnya bagaimanakah perkembangan seni rupa kita? Hingga saat ini, ada satu pertanyaan yang paling mengusik mahasiswa/i seni rupa, yakni di manakah posisi kita ketika masuk ke tengah masyarakat umum jika seni itu sendiri masih termarjinalkan dalam sistem pendidikan dan lingkungan masyarakat?

 As Soon As Possible” yang diartikan “secepat mungkin” menjadi kegelisahan bagi mahasiswa seni rupa mengenai kondisinya ketika kembali ke tengah masyarakat. Wacana profesi dalam bidang seni rupa coba diutarakan dalam Pameran “Lempuyangan-Pasar Senen” yang diikuti oleh 4 institusi seni dari kota Jakarta dan Yogyakarta—Institut Kesenian Jakarta, Universitas Negeri Jakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan Universitas Negeri Yogyakarta. Pameran yang diadakan di Galeri Cipta II, TIM, Jakarta ini merupakan kali kedua terjalinnya kerja sama di bidang seni antara masing-masing institusi tersebut. Tahun lalu, acara ini diselenggarakan di kota Yogyakarta. Sebagai calon-calon individu yang akan menjadi seniman, pengajar seni, ataupun praktisi seni rupa yang lainnya, penyelenggaraan pameran kali ini merupakan sebuah upaya untuk memposisikan diri di depan masyarakat luas. Tentunya, sebagai mahasiswa/i seni rupa yang memiliki tanggung jawab atas ilmu yang telah didapat, wacana mengenai profesi ini harus dapat segera dijawab agar para individu tersebut dapat memiliki tempat dan peran di tengah masyarakat luas, juga agar kesenian dapat berpengaruh dan berkembang di tiap lapisan masyarakat.

Selamat berpameran untuk semua teman antarkota, antarinstitusi. Semoga tali silahturahmi ini dapat terus terjalin dengan mesra...

Angga Wijaya
6 April 2013
Jurusan Pend. Seni Rupa,
Universitas Negeri Jakarta


*penulisan ini sebagai pengantar katalog pameran 2 kota 4 Institusi “Lempuyangan-Ps.Senen #2”, Yogyakarta-Jakarta; IKJ, UNJ, ISI Yogya, UNY. Diselenggarakan di Galeri Cipta II, TIM, Jakarta pada tanggal 22-26 April 2013.

Animal Insticnt (a group Exhibition)


Animal Instinct: Latar belakang pendidikan dan jalan menuju eksistensi dunia seni rupa yang lebih luas
Pengantar Kuratorial
Oleh: Angga Wijaya

Kurang nyaring dan tidak meledak-ledak...
Parasnya cantik tapi jarang keluar rumah...
Mau balapan tapi jalannya rusak...
Berangkatnya pagi, tapi salah jalan...
Siap ujian tetapi lupa sarapan...
                                   
Seperti itulah sebuah sajak yang dituliskan oleh teman saya Hari Prasetyo a.k.a Otoy dalam menanggapi sebuah situasi yang terjadi pada mahasiswa Seni Rupa, Universitas Negeri Jakarta. 
Universitas Negeri Jakarta merupakan Institusi berbasis pendidikan, salah satu Jurusan di dalamnya yaitu Pendidikan Seni Rupa,  yang mempelajari ilmu seni rupa dalam teori pendidikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa lembaga tersebut akan mencetak pendidik bagi generasi penerus bangsa. Walau demikian disiplin ilmu seni rupa yang menjadi prioritas utama, sebagaimana ilmu tersebut yang bersifat keahlian (skil), yang dipelajari sebagai basic keahlian individu, tidak bisa dipungkiri pula dapat membuka peluang-peluang untuk menjadi profesi yang lain, dengan latar seni yang sangat luas, sesuai keinginan individu masing-masing yang menentukan. Dengan keberagaman profesi yang dapat dipilih tersebut menjadi bentuk ke-bias-an individu selama masih mengenyam pendidikan untuk menentukan profesi yang akan dipilihnya.

Berbeda memang dengan Institusi seni rupa murni seperti Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Senirupa Indonesia (ISI) yang berada di berbagai kota di Indonesia, terutama kota Yogyakarta yang telah menghasilkan nama-nama seniman besar. Institusi seni rupa murni tersebut secara akademik mempelajari ilmu seni rupa dengan lebih fokus kepada penciptaan dan pengkajian serta ditunjang sarana dan prasarana yang mendukung, secara umum sudah jelas akan mencetak nama-nama seniman yang berkompeten, dan itu sudah terbukti dari perjalanan kesenian di Indonesia, yang telah banyak berpengaruh dalam perkembangan kesenian sampai sekarang.

Dengan modal pengalaman yang cukup, juga dengan segala tekad dan upaya untuk meramaikan dan melanjutkan keberlangsungan kesenian secara lebih luas, maka sejumlah individu dengan latar belakang pendidikan non-murni berinisiatif untuk membuka jalan bagi eksistensi mereka dalam memasuki dunia seni rupa secara lebih luas, dunia ke-seniman-an, yang akan diisi tentang proses penciptaan karya yang lebih fokus, dengan pengkajian seni yang lebih serius, serta dengan segala perhitungan yang akan menghasilkan dampak bagi masyarakat untuk memahami, menghargai, dan menikmati karya seni secara lebih apresiatif. Dunia seni rupa yang juga hiruk pikuk dengan pasar, dengan persaingan dan segala hal problematik kebudayaan yang siap harus siap akan mereka geluti.

The Animal Instinct: Natural Sign

Animal Instinct merupakan sebuah ide yang dipilih sebagai “tanda alam” dalam pameran group ini. Insting terasah dari kebiasaan yang terjadi dalam keseharian, yang menghasilkan sebuah pengalaman, dari pengalaman tersebut yang menjadi sebuah proses pembelajaran. Begitu pula yang dialami oleh pameris mengusung tema Animal Instinct yang dapat diartikan dalam proses keberkaryaan. Secara tidak sadar dan sadar insting itu timbul dari proses, semakin giat insting itu terasah semakin tajam pula insting yang dimiliki.

Layaknya hewan yang hidup menggunakan insting, sains membuktikan bahwa hewan memiliki keunikan tertentu yang tidak dimiliki oleh manusia, seperti kepekaan yang merupakan bagian dari tanda-tanda alam. Tanda-tanda tersebut didapatkan dari naluri hewan dalam menyikapi gejala alam, hal itu yang kerap dipahami manusia sebagai mitos atau mitologi yang berkembang menjadi peradaban kehidupan sampai sekarang.

Insting hewan dan manusia berbeda, hewan hidup lebih banyak membutuhkan insting ketimbang manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun dengan insting, hewan tidak dapat meningkatkan dan mempertinggi kecakapannya karena lebih dikuasai oleh dorongan nafsu. Sedangkan pada manusia, meskipun mempunyai insting, namun hal itu tidak menjadi pendorong utama manusia untuk melakukan pergerakan maupun tindakan, karena lebih memakai akal pikiran.

Manusia dan hewan mempunyai hubungan sebagai objek dan tanda dari kehidupan di alam semesta ini. Insting bukan hanya sebagai “alat” yang digunakan masing-masing antara manusia dan hewan sebagai mahkluk hidup. Namun keterkaitan antara manusia dan hewan melihatkan realitas dalam menyesesuaikan hidup, bertahan ataupun saling menyerang.

Judul pameran ini mencoba menengahkan hubungan insting manusia dan hewan sebagai nilai refleksi kehidupan di alam sekitarnya. Bagaimana melihat hubungan tersebut dengan cara yang berbeda, dari proses pencarian, mendalami dan memahami. Sehingga menunjukan suatu pandangan tertentu mengenai hakikat kehidupan manusia dan hewan yang dibangun dari persepsi bentuk visual dan kreatifitas penciptaan karya seni rupa yang diusung oleh pameris.

Pameran ini menampilkan karya-karya dari seniman muda yang mencoba melihatkan hasil dari proses penciptaan karya seni rupa-nya. Dengan menggali berbagai macam kecenderungan disiplin ilmu seni rupa, seperti seni lukis, seni grafis murni, instalasi, video art dan performance art. Media tersebut dipilih oleh pameris sesuai pendalaman keahlian yang mereka geluti, dan mencari nilai dari medium tersebut sesuai tema yang diangkat. Mereka mengeksplorasi, mengkarakteristikan dan menghasilkan kesesuaian antara visual, tema, dan karya masing-masing pameris satu sama lain.

Pada karya Adi Dhigel yang berjudul Kampung Semut (2012), Dhigel mengambil nilai dari perilaku semut yang bekerja bergotong royong dalam koloninya, nilai tersebut direfleksikan dalam perilaku manusia di sebuah kampung. Dengan media seni grafis cukil kayu Dhigel mengangkat fenomena kerja bakti yang sekarang hampir tidak pernah lagi terlihat, bahkan di daerah perkampungan sekalipun. Kesibukan manusia akan kegiatan mencari uang dan menghabiskannya membuat manusia lupa akan lingkungan di sekitar, entah menjaga kebersihan lingkungan ataupun interaksi dengan masyarakat di tempat tinggalnya.

Sementara itu Amy “simonyetbali” memakai media seni lukis, dengan karakter komikal yang memakai figur primata karya ini diberi judul To.Uch (2012) yang mengambil simbolisasi interaksi. Dengan mengambil repesentasi karya Michelangelo “The Creation of Adam” Amy mempermainkannya dengan mengganti sosok personal diri dengan primata.

Sedangkan Anita Bonit memilih memakai cetak saring (sablon) serta di mix oleh media bordir di atas tekstil. Dalam karya yang berjudul Doggy Style (2012) sebagai sebuah istilah yang berarti posisi atau gaya dalam bercinta (hubungan seksual), namun persepsi tersebut dipermainkan dalam visual yang lebih ceria dan menghibur seperti pada pertunjukan sirkus, sehingga memiliki makna lain dari istilah yang dibuat.

Dhado Wacky dengan judul Human Wild (2012) mengangkat isu keliaran manusia yang kadang kala bisa dapat dikatakan hampir sama seperti binatang, ia mencoba mengkritisi hal itu. Dhado yang terbiasa mengerjakan karya Mural, dalam karya ini Ia mengeksplorasi melukis dengan media papan kayu yang berukuran 2meter.

Ada dua karya yang terpisah ditampilkan Daniel Ferryansyah, satu dengan canvas panjang sedangkan yang satu karya lagi enam potong kanvas yang saling terkait satu sama lain. Daniel mempunyai persepsi bahwa proses melukis memakai insting, hal itu berjalan dengan sendirinya tanpa direncakan, seperti itu pula ia memberi judul pada karyanya yaitu Insting (2012). Persepsi tersebut yang menghasilkan berbagai visual secara spontan dan ekspresif.

Led Eat Bee (2012) sebuah plesetan lagu The Beatles yang dijadikan Moch. Hasrul sebagai judul karya, dengan karya Instalasi sepeda yang terkait dengan visual lebah didepannya. Sifat karya tersebut membutuhkan interaksi, yang dapat direspon dan akan berjalan bila digenjot, sehingga visual lebah yang dipasang lampu Leed di depannya akan menyala.  Sifat lebah yang merupakan binatang pekerja keras, menjadi nilai refleksi antara kegiatan menggowes dan hasil yang didapatkan dari kegiatan tersebut.

Pada lukisan Moh. Haryo Hutomo yang mempunyai karakter naif dengan eskplorasi media yang bertekstur. Karya Haryo dengan judul P.O.P (2012) ini merupakan sebuah sikap kritis pada situasi dunia populer saat ini, yang dipresentasikan ulang ke dalam sebuah lukisan dengan visual hewan unta sesuai imajinasinya.

Berbeda dengan Muchlis “Dafpig”, dengan karakter visual babi pada setiap karyanya, dengan judul Hope (2012) menceritakan sebuah kisah tentang lelaki dengan babi sebagai binatang peliharaannya. Narasi yang disampaikan tersebut menjadi sebuah makna yang berarti sikap manusia tanpa pandang bulu untuk melestarikan sinkronisasi kehidupan antara hewan dan manusia.

Sedangkan Rishma Riyasa dengan kepiwaian drawing memberi judul karyanya yaitu Simbiosis (2012). Konsep itu divisualisasikan dengan bentuk kombinasi antara manusia dan hewan, yang dibacakan melalui sifat-sifat manusia yang terkadang sama dengan karakter hewan. Karyanya hadir dengan berbagai ukuran, mengilustrasikan hubungan antara manusia dan hewan yang saling menyatu dan saling membutuhkan secara simbiosis. 

Sama halnya dengan Rishma, Riezky Ponga menguak interaksi pada karya performance art. Ia mendisplay parutan es di sentral dengan mangkuk yang mengelilinya, lalu ia memasangkan tali pada setiap mangkuk agar terkait dengan parutan es, di pameran ini Ponga akan mengadakan pertunjukan sedang memarut es, dan kemudian akan ia tuang sirup disetiap mangkuk yang sudah disediakan.

Dari tema tersebut kita bisa menguak realitas yang dibawa oleh pameris secara universal, komunal maupun kesan personal. Kecenderungan tema yang digali dari insting hewan ini dijadikan cerminan pada nilai-nilai keberlangsungan hidup manusia, ada pula yang memposisikan diri personal layaknya sebuah hewan, atau pun cerita keberdampingan antara hewan dan manusia. Para pameris mencoba mengilhami posisi mereka sebagai manusia dalam menyikapi sinkronisasi kehidupan di alam semesta yang luas ataupun dari hal yang paling kecil di alam sekitarnya, sebagai sarana untuk memahami dunia sekeliling kita secara kreatif.

Pameran yang mengambil tema Animal Insticnt ini diselenggarakan sebagai tonggak awal para seniman muda ini memasuki wilayah seni rupa secara lebih luas, maka dari tu setelah pameran ini diselenggarakan sang seniman muda dituntut konsistensinya dalam menjalani dunia seni rupa, sesuai itikad baik bagi keberlangsungan kesenian, tanpa mengurangi pula “insting” pendidik yang didapat dari latar belakang pendidikan untuk tetap dan terus membagi ilmu.

Jakarta, 19 Desember 2012.















Senin, 05 November 2012

Pameran Tunggal Nasirun "Uwuh Seni"


Dua Sisi (1.000-an lukisan) Nasirun

“Uwuh Seni” jika diartikan dari bahasa Jawa yang berarti Sampah Seni. Nasirun telah lama mengumpulkan undangan peristiwa kesenian, yang kemudian ia lukis kertas undangan tersebut, membingkainya, disimpan dalam box bingkai, diberi judul dan menempelkan foto karya tersebut pada bungkus bingkainya, sehingga dengan mudah ia mencari lukisan tersebut yang sudah terkumpul begitu banyak. Dua tahun lalu ia memperlihatkan salah satu contoh karya-nya itu saat saya berkunjung ke rumah beliau, luar biasa yang saya kira apa yang dilakukan Nasirun pada saat itu hanya sekedar “kurang kerjaan” namun tak disangka karya-karya tersebut berkecapaian untuk dipamerkan di Galeri Salihara sebagai Pameran Tunggal Nasirun yang berjudul “Uwuh Seni”, sungguh kerja kreatif yang sangat mengagumkan, dengan ketekunan dan kerja keras, beliau tak henti dan bosan melukiskan undangan tersebut sampai menembus angka 1.000-an buah karya.




Berbicara mengenai Nasirun
Berbicara Nasirun, berarti membicarakan pula kepribadiannya, kepribadian yang ramah dan apa adanya,  kesuksesannya dalam dunia seni rupa Indonesia tak membuatnya berubah, hidupnya tetap menampilkan kesederhanaan dan kesahajaan, pintu rumahnya selalu terbuka untuk siapapun. Hal yang menarik dari cerita kebanyakan orang tentang beliau, seperti pada pukul 02.00 sampai 04.00 siang hari merupakan jam yang tak dapat diganggu oleh siapapun, bahkan “Presiden” sekalipun jika beliau sedang tidur siang. Lalu kegemarannya terhadap taman dan tanaman, mengisi kegiatan beliau untuk menyapu halaman rumah-nya dan menyiram koleksi tanaman adalah aktifitas yang tak terlewatkan. Sehingga ada sebuah kejadian lucu, saat seorang pejabat penting mengunjungi rumah beliau untuk mengoleksi karya Nasirun secara langsung, pejabat itu tak percaya bahwa seseorang dengan penampilan yang biasa-biasa saja –yang lebih mirip seperti tukang sapu, sedang menyapu halaman tersebut adalah pemilik rumah yang bernama Nasirun. Begitu banyak hal yang menarik mengenai cerita dari seniman ini. Sosok welcome terhadap siapapun tersebut yang membuat beliau banyak dihormati sebagai seniman ternama Jogja, ketika saya berkunjung ke rumah seniman lain di Jogja, seniman-seniman lain tersebut kerap menanyakan hal yang sama terhadap saya yaitu “Sudah ke rumah Nasirun?”, bahkan ada yang membuat tebak-tebakan menggelitik  berbunyi seperti ini “Nasi, nasi apa yang sering dicari di Jogja?” Jika kita beranggapan jawabannya adalah Nasi Kucing ternyata salah, jawaban tersebut yaitu Nasirun.

Keberadaan Nasirun merupakan dua sisi antara yang Tradisi dan yang Modern, Nasirun selain dalam kepribadiannya yang kental terhadap nilai tradisi. Seperti pada perilakunya yang tidak menggunakan telepon seluler dan komputer dalam kehidupan keseharian, padahal kehadiran teknologi tersebut tidak bisa kita bantah dalam dunia Modern yang sangat kita perlukan, dunia yang dimana sekarang beliau alami.

Hal itu pun tercermin dalam proses keberkaryaan, nilai tersebut dijunjungnya sebagai karakteristik karya-karya beliau, jika perupa Jogja yang lain sibuk mengambil citraan “Pop” seperti karakter komik Amerika dan China yang sedang booming dengan istilah kontemporer, Nasirun hadir dengan fitur-fitur simbol tradisi Jawa dan Islam, menggambarkan sebagian sosok wayang yang sudah ada (lama), namun dapat dibilang baru karena wayang yang dihadirkan Nasirun telah dimodifikasi, dilebur kembali terhadap nilai Modern yang sedang terjadi. Karya-karya Nasirun tersebut memperkuat persepi bahwa nilai tradisi (Low Art) telah menjadi bagian dari pemaham seni kontemporer, salah kiranya menurut pribadi saya jika karya-karya Nasirun tidak disebut kontemporer, bahkan menurut saya karya-karya Nasirun merupakan jawaban dari Seni Rupa Kontemporer Indonesia.

Kerja kreatif-nya dalam dunia seni rupa, Nasirun jalani semua dengan apa yang disebut beliau sebagai kegembiraan, ia melukis selalu dengan rasa senang, apapun dicoba dengan mengeksplorasi berbagai media, menurutnya melukis tidak harus dibidang kanvas, mengutip pengantar pameran “Uwuh Seni” yang ditulis oleh Nirwan Dewanto, bagi Nasirun, Seni Lukis bisa berarti menghias, mengindahkan—dalam arti memperindah sekaligus memperhitungkan—bahan-bahan bekas, dan demikianlah si pelukis menjalankan semacam daur-ulang dengan caranya sendiri. Dari kecenderungan mengeksplorasi benda yang ada disekitarnya bahkan dapat dikatakan sudah menjadi sampah, merupakan sebuah kegiatan yang mengisi hidupnya, mengisi proses keberkaryaan beliau, sehingga dapat dikatakan Nasirun adalah seniman yang begitu kreatif dan produktif, sudah banyak kolektor yang ingin memiliki karya-nya, bahkan kanvas kosongpun sudah dipesan, seperti yang ia ceritakan bahwa beliau begitu banyak hutang karya yang belum dipenuhi dan pameran yang belum terselenggara untuk ia ikuti, kira-kira sampai tahun 2013.



Berbicara Pameran Tunggal Nasirun: “Uwuh Seni”
Nasirun merupakan seniman “kesayangan” Dr. Oei Hong Djien, hal itu diakui oleh sang kolektor yang membuka Pameran Tunggal Nasirun “Uwuh Seni” pada Sabtu malam, tanggal 03 November 2012. Selain itu sambutan berikutnya oleh Syakieb Sungkar dan Goenawan Mohamad selaku perwakilan Komunitas Salihara. Rombongan seniman dan pekerja seni Jogja ikut datang, yang turut membantu penyelenggaran pameran Nasirun selain sebagai bentuk apresiasi terhadap sang Seniman ini.

Pameran yang berlangsung sampai tanggal 25 November 2012 ini menampilkan 1.000-an kertas undangan yang telah mewujud menjadi karya lukis yang dikerjakan oleh Nasirun semenjak tahun 2008. Nasirun merespon berbagai undangan yang ia punya, undangan peristiwa kesenian: pameran seni rupa, teater dan bentuk kesenian lainnya. Undangan tersebut diberikan dari berbagai pihak, seperti kerabat Seniman, Gallery, Institusi dan Lembaga. Undangan memiliki nilai “rasa hormat” dari si empunya acara kepada orang yang diundang, ada makna di dalamnya dalam hal keberadaan dan sifat sosialisasi, sebuah rekam sejarah yang menyatakan peristiwa tersebut akan berlangsung dan menjadi kenangan setelah acara telah berlangsung. Sebab itulah Nasirun mengumpulkannya yang mungkin dari kebanyakan orang menilai bahwa bekas undang tersebut sudah menjadi sampah dan akan dibuang. Sikap kreatif Nasirun ini mengubah sampah menjadi “emas”,  kebiasan mengumpulkan bekas undangan ini serupa dengan kegemarannya yang lain seperti mengoleksi tanaman dan hal yang “sepele” lainnya, peralatan melukis yang tidak dipakai, palet, kuas, tabung cat, rebana, botol, bahkan buah kelapa kering yang jatuh di halaman rumah-nya. Bagi Nasirun bekas undangan tersebut mengingatkannya akan sebuah perubahan waktu, seperti yang dijelakan oleh Asikin Hasan selaku kurator pameran, bahwa disitu ada Drama kebergunaan dan akhir dari sebuah guna—menjadi sampah, yang silih berganti dengan berbagai model undangan, ditulis tangan, diketik, dicetak manual dan digital.

Terdapat gambar dan teks yang sudah tertera dalam setiap undangan, citraan itu yang ia respon; menambahkan gambar atau teks, menghapus sesuatu yang menurutnya tidak perlu, mewarnainya kembali sesuai selera, membentuk bidang yang lain sehingga menghasilkan komposisi baru, atau benar-benar menghabiskan ruang kertas tersebut dari jejak awal citraan yang ada. Nasirun melukiskannya dengan ekspresif, goresan kasar, lelehan cat, atau mengisinya dengan garis tegas dan dinamis berkecenderungan seperti kaligrafi, tak kecuali terdapat sosok wayang dan makhluk antah berantah terlihat seperti dedemit, pada warnapun ia kebanyakan memakai warna komplementer dan warna-warna tembaga, emas maupun perak. Hasil yang terjadi pada setiap karya-karya-nya memiliki makna personal seniman dalam  meresponsif secara sadar dari setiap isi bekas undangan tersebut yang berdiri sendiri maupun terlihat berangkaian dari masing-masing banyaknya karya yang terjalin.





Ribuan karya dengan berukuran kecil-kecil dan bevariasi tersebut ditata seperti membentuk instalasi karya dua dimensi. Hery Permad Management turut membantu mengatur penataan pameran Nasirun ini, dengan begitu banyak karya, penataan tidak terlihat mendesak namun dapat dibentuk lebih pas dipandang jarak mata dalam ruang pamer yang minimalis berbentuk singular tersebut. Hal yang menarik selain lukisan ini dipajang dengan bingkai, pada tengah galeri, karya lainnya di-display dengan kaca transparan yang dapat kita lihat secara dua sisi, untuk kita melihat satu sisi lainnya, isi dibalik undangan tersebut, siapa yang mengundang dan pada perhelatan apa, sehingga kita mendapat memahami responsif apa yang dilakukan sang seniman dalam isi bekas undangan tersebut. Secara pribadi saya beranggapan baru pertama kali ini saya mengunjungi pameran seni rupa di Galeri Salihara tertata begitu  apik. Jika mencermati begitu banyak lukisan, yang terjadi bukan membosankan, namun membuat kita penasaran pada setiap satu-persatu karyanya.

Pameran tunggal yang untuk kesekian kalinya ini merupakan sebuah titik pencapaian Nasirun dalam setiap kerja kreatif-nya yang tak henti-henti bereksplorasi dalam proses penciptaan karya-karyanya. “Uwuh Seni” yang menampilan Dua Sisi, antara yang lama menjadi yang baru, yang tradisi dan yang modern dan sifat undangan tersebut; antara dua sisinya, yang terlukis dan yang tertinggal. Pameran ini dapat dikatakan sebuah rekor dengan 1.000-an karya, sudah sepatutnya kita mengapresiasi ketekukan dari seniman ini dan apa yang telah diberikan Nasirun terhadap kesenian Indonesia.


Angga Wijaya
November 2012

foto oleh : INDOARTNOW
Database Komunitas Salihara
dapat dilihat di http://www.flickr.com/photos/salihara/sets/72157631927525894

Senin, 15 Oktober 2012

Kembali ke Konvensi?


Review Trienal Seni Grafis IV 2012

Perhelatan pameran Seni Grafis tiga tahunan ini memasuki babak ke 4 pada tahun 2012, yang diselenggarakan pada 04-14 Oktober di Bentara Budaya Jakarta dan akan diselenggarakan di empat kota lainnya, dimana Bentara Budaya bertempat, seperti Solo, Yogyakarta dan Bali. Kompetisi yang menyaring para pengrafis secara nasional ini telah dibuka sejak bulan Mei tahun ini, dan menghasilkan 51 karya dari 43 pameris.

Trienale Seni Grafis ke IV kali ini menekankan kembalinya seni grafis kepada kategori teknik konvensional yang telah dikenal, yang terbagi menjadi empat bagian yaitu Cetak Tinggi (Cukilan Kayu dan Lino), Cetak Datar (Litografi), Cetak Dalam (Etsa, Drypoint, Mezzotint), dan Cetak Saring (Sablon). Seperti yang dijelaskan oleh Ketua Dewan Juri, Aminudin TH Siregar yang ingin menegakan konsekuensi dan subtansi Trienale terkait penggunaan istilah “seni grafis” tersebut, yang perlu dipelihara dan dikembangkan untuk kedepannya sebagai komitmen dan konsistensi ”ideologi” perhelatan ini.

Suasana pembukaan pameran

Pengunjung sedang mengapresiasi karya


Kompetisi ini menghasilkan 3 pemenang, yaitu Agung Prabowo dengan judul karya “Nirbaya Jagratara (tak gentar selalu waspada)” dengan teknik cukil lino menggunakan 16 warna sebagai juara pertama. Dari karya Agung, mungkin kita akan bertanya bagaimana membuat pewarnaan yang begitu banyak? Bahkan dengan medium yang cukup sulit untuk menerapkan reduksi. Sedangkan juara ke dua yaitu M. Fadhil Abdi dengan judul karya “Art, Girl, and Murder” memiliki kecakapan yang luar biasa pada teknik Cukil Kayu yang sederhana namun dapat menghasilkan visual yang berdimensi tidak plot atau blok (kecenderungan karya grafis). Dan pada juara ke tiga jatuh kepada Theresia Agustina Sitompul yang mengemas karya Dry point menjadi sebuah Book Story yang begitu menarik dengan judul “Book, Print and Memory”.

Pada tahun ini kompetisi dipenuhi oleh para pameris muda, apakah ini akan menjadi nafas baru bagi keberlangsungan seni grafis murni di Indonesia? Sebaliknya dalam kompetisi kali ini nama-nama penggrafis sebelumnya yang lebih populer kurang terlihat, baik yang kerap mengikuti event seni grafis maupun sudah menjadi seniman grafis ternama. Apakah perhelatan kali ini kurang diminati atau diamini oleh seniman-seniman tersebut sebagai  “pesta rakyat seni grafis” di Indonesia? Atau seni grafis tidak begitu menjanjikan bagi pasar seniman tersebut? Dan mungkin kembali ke Konvensi, membuat karya para seniman tersebut tidak terseleksi disebabkan karya mereka sudah begitu eksploratif dengan paham kontemporer yang lebih nge-trend di pasaran.

Melihat secara geografis kompetisi ini didominasi oleh kota Bandung dan Yogyakarta, selain itu hanya ada perwakilan masing-masing satu atau dua nama dari kota Solo, Bali, dan Padang. Yogyakarta dan Bandung masih menjadi kutub persaingan seni rupa di Indonesia, dua kota ini memang paling produktif menghasilkan seniman. Hal tersebut tak bisa dielakan bahwa sarana dan prasarana kesenian lebih tersedia, seperti hal-nya dua Institusi yang terdapat di dua kota tersebut yaitu ISI Yogyakarta dan ITB. Melihat ranah seni grafis kedua kota tersebut dengan masing-masing Institusi-nya telah membuat pemahaman bagi keberlangsungan seni grafis di Indonesia sampai saat ini. ITB sarana untuk proses penciptaan seni grafis cetak datar (Litografi) dan cetak dalam (Etsa, Drypoint, Mezzotint) di Indonesia hanya tersedia disana. Sedangkan di Yogyakarta sesuai dengan atmosfer kesenian yang begitu deras, sampai saat ini seni grafis juga masih menjadi medium proses penciptaan karya yang digemari.

Karya pemenang pertama: Agung Prabowo

Pemenang ke dua: M. Fadhlil Abdi

Pemenang ke tiga: Theresia Agustina Sitompul


Pada tahun ini pula Cetak Tinggi seperti Cukil Kayu (Wood Cut) masih menjadi media yang paling banyak digunakan oleh pameris, hal itu dapat dikatakan karena media tersebut paling mudah didapatkan, digunakan dan dieksplorasi. Cetak Tinggi dapat dikerjakan secara lebih simple dan mandiri ketimbang teknik grafis lainnya, yang membutuhkan perangkat dan tempat (studio) yang memumpuni dan mendukung proses penciptaan teknik tersebut, seperti Cetak Datar dan Cetak Dalam yang media pun sulit didapatkan. Sedangkan Cetak Saring (Sablon) dalam perhelatan tahun ini hanya satu karya yang dihadirkan, dikarenakan belum banyak yang menyadari pemakaian teknik ini sebagai sebuah karya seni yang murni ketimbang pemakaian untuk industri.

Dengan mengembalikan seni grafis ke konvensi lama, telah membuat pengkrucutan pada hasil seleksi karya-karya grafis yang dihadirkan, kecenderungan yang terjadi yaitu kurangnya eksplorasi pada pengembangan teknik seni grafis yang lain, sehingga banyak karya yang hadir hanya menggunakan media yang paling populer yaitu Cetak Tinggi (Cukil Kayu). Menjadikan hal yang paling terpenting dikedepankan yaitu esensi dari “seni grafis” (proses dan teknis) ketimbang dari hasil yang maksimal dari sebuah karya, terutama visual.

Ada beberapa karya yang dapat dikatakan kurang baik secara visual, misalkan keseimbangan warna antara hitam dan putih, antara yang dicukil dan yang tercetak  sehingga visual yang dihasilkan dapat jelas terlihat dan estetik dipandang. Namun hal tersebut hanya sebagian pandangan kecil dari kompetisi ini, dari keterbatasan konvensi yang ditetapkan juga tak mengurangi para pameris untuk berhasil menutupi kekurangan tersebut, terutama dalam kecakapan secara teknik yang luarbiasa. Konsekuensi yang ditetapkan oleh dewan juri tersebut setidaknya dapat mengkokohkan nilai dari esensi seni grafis dari pengertian mengenai “seni cetak” yang sangat luas dan dari penyerbuan arus paham seni kontemporer yang semakin bias dan bebas.


Angga Wijaya
Oktober 2012

tulisan ini diposting pula di:

Rabu, 26 September 2012

“Lebaran Anak Muda Jakarta”

Review Pameran Jakarta 320 C

Galeri Nasional Indonesia pada malam minggu 22 September 2012, tak pernah seramai ini dikunjungi dalam pembukaaan pameran. Ruang pamer Gedung.C dipadatkan banyaknya pengunjung pada waktu pembukaan pameran, sehingga membuat ruang gerak apresiasi sangat sempit dan panas. Analogi panas pun berkesesuaian dengan kegiatan pameran dari Jakarta 320 C itu sendiri. Mungkin secara pribadi seolah-olah saya mengidentifikasikan panas yang dihadirkan ini merupakan sebuah bentuk karya pula yang menjadi bagian dari pameran tersebut.

Kali ke lima ruangrupa mengadakan program pameran yang bertajuk “Jakarta 320 C 2012”, sebuah pameran hasil karya visual mahasiswa se-Jabodetabek. Jakarta 320 C sudah banyak merangkul Institusi di Jakarta yang di antaranya 10 Universitas yang kerap diajak kerjasama dalam melebarkan program ini, seperti Institut Kesenian Jakarta, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Indonesia, Universitas Bina Nusantara, Universitas Pelita Harapan, Mercu Buana, UPI Y.A.I, Universitas Multimedia Nusantara, Universitas Tarumanegara dan Interstudi. Kegiatan pengumpulan karya bagi tim Jakarta 320 C yaitu membuka open submission bagi karya-karya mahasiwa, dan juga mengadakan workshop yang dapat diikuti dan akan di pamerkan sebagai presentasi hasil kegiatan.

Tidak hanya Universitas yang memiliki program pendidikan seni rupa di kampusnya saja yang telah diajak bekerjasama, melainkan Universitas yang lain yang tidak mempunyai program pendidikan seni rupa pun bisa berpartisipasi. Hal tersebut menjadikan keberagaman hasil karya visual yang dipamerkan. Berbagai macam pendekatan selain estetika pada wilayah seni rupa, juga menghasilkan kecenderungan baru dari latar belakang pendidikan yang dienyam masing-masing mahasiswa yang menjadi pameris atau peserta.

Suasana pembukaan pameran di dalam ruang pamer

Suasana di luar ruang pamer, para apresiator sedang menunggu pembukaan


Begitu banyak yang hadir dalam pembukaan pameran dengan mayoritas para muda-mudi Jakarta dan sekitarnya, layaknya seperti sebuah “Lebaran Anak Muda Jakarta”. Kumpul-kumpul tersebut pun menjadi ajang pertemuan dan silahturahmi, entah itu anak muda-mudi yang memang selama ini sudah dekat dengan kegiatan seni rupa;pameran ataupun tidak. Malam itu semua melebur, memahami dan menikmati karya seni yang mungkin selama ini dipandang eksklusif dan jarang mengunjungi ke sebuah tempat pameran seperti di Galeri Nasional Indonesia. Nama ruangrupa memang sudah menjadi gelombang trend populer bagi berbagai anak muda ibukota, mahasiswa, dan tak terkecuali kalangan anak sekolah sekarang.

Seni dan Kreatifitas memang sudah menjadi sesuatu hal yang Trend bagi lifestyle anak muda sekarang terutama di Ibukota. Trend tersebut berjalan seiring arus perkembangan yang terjadi pula dengan Musik dan Fashion. Seperti Street Art yang begitu dikenal saat sekarang ini, begitu pula-lah hal yang dilakukan dengan ruangrupa yang membuat progam dengan segmentasi anak muda. Meningkatnya pengunjung dari tahun ke tahun dengan tampilan begitu fashionable memberikan tanda bahwa secara tak sadar mengubah seni menjadi bagian dari lifestyle anak muda ibukota Jakarta itu sendiri. Melihat prespektif seni rupa secara lebih luas dan bias, kemudian masuk kepenjuru-penjuru bidang lain dengan memanfaatkan kota Jakarta sebagai medium berkarya, untuk kemudian dapat memahami seni dan kehidupan sekitar kita secara lebih nakal namun kreatif.

Apresiator sedang menikmati karya yang dihadirkan

Apresiator sedang mencoba menanggapi karya yang mempunyai daya interaksi


Berbicara mengenai pameran dan sebuah karya visual dalam respon kuantitas, karya-karya  yang dipamerkan pada tahun ini terlihat mengalami kesurutan. Namun dengan berbagai aspek yang melatar belakangi terciptanya hasil karya masing-masing pameris masih menjadi sesuatu yang menarik untuk dilihat dan diketahui. Menghadirkan berbagai macam kategori karya visual baik dalam karya dua dimensi ataupun tiga dimensi, antara murni dan desain, ataupun dilihat secara skill maupun konseptual, atau bahkan yang interaktif sekalipun, semua tetap sama-sama memperhitungkan makna dari sebuah visual. Terlihat dari berbagai disiplin ilmu yang coba di-hibridasi-kan, karya yang dipamerkan untuk dinikmati dan dikatakan sebuah karya seni mempunyai kapasitas dan kadar estetika yang berbagai macam pula sesuai dengan latar belakang ilmu dari masing-masing pameris. Selain itu pada presentasi hasil workshop, karya-karya yang dihasilkan mencoba menggali tema kota Jakarta sesuai dengan media workshop yang ada. Bila ditelisik, ada beberapa karya yang sangat berhasill dan menarik untuk dipresentasikan,  namun ada pula yang kurang sesuai dan terlihat sekedarnya karena berbagai hal dan keterbatasan.

Pameran Jakarta 320 C yang berlangsung sampai tanggal 8 oktober 2012 sudah menjadi upaya untuk menghadirkan proses kerja kreatif dari mahasiswa berbagai Universitas di Jabodetabek. Jakarta 320C ada sebagai wadah untuk mengkompetesikan secara positif kehadiran karya-karya visual dengan berbagai macam pendekatan ilmu, dan memberi nafas baru dalam melebarkan kegiatan seni, ruang dan apresiator baru secara lebih luas.



Angga Wijaya
September 2012


artikel ini diposting oleh: http://serrum.org/archives/1084
foto: dokumentasi Komplotan Jakarta 32