Rabu, 01 Mei 2013

Lempuyangan- Ps. Senen; As Soon As Possible


Menengok Peran Pendidikan


“Mereka tahu hasil dari 2+2=4, tapi tak tahu mengapa 2x2 juga sama dengan 4”
Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 3

Bicara perkembangan seni rupa Indonesia saat ini, berarti juga menelisik institusi pendidikan yang melatarbelakanginya, sebuah lembaga yang menjanjikan ilmu sesuai bidangnya sehingga menghasilkan seorang individu yang kompeten sesuai bidang ilmu yang digelutinya pula.

Pelajaran seni di sekolah, saat ini, dirangkum dalam sebuah mata pelajaran bernama Seni dan Budaya. Cakupan materinya meliputi berbagai disiplin ilmu seni, seperti seni rupa, seni musik, dan seni tari. Beragamnya disiplin ilmu yang diajarkan tersebut berbanding terbalik dengan waktu mengajar yang diberikan oleh sistem pendidikan di sekolah, yaitu 2x45 menit/kelas dalam satu kali pertemuan tiap minggunya. Dengan terbatasnya waktu mengajar tersebut, apakah peserta didik akan dapat memahami seluruh materi yang diberikan?

Sementara itu, berbicara tentang faktor pengajar (guru), tidak semuanya menguasai seluruh subdisiplin ilmu yang terdapat dalam mata pelajaran Seni dan Budaya. Biasanya, para pengajar tersebut cenderung hanya menguasai satu subdisiplin ilmu, sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Sebagai contoh, seorang pengajar Seni dan Budaya lulusan fakultas seni rupa tentu akan lebih sering membahas berbagai karya seni rupa di hadapan para muridnya. Sementara itu, seorang pengajar lulusan fakultas seni musik tentunya akan lebih sering membicarakan sejarah dan perkembangan seni musik ketimbang bicara seni rupa. Sebuah ironi apabila di suatu sekolah tidak ada filterisasi ketat mengenai kompetensi pengajar yang sesuai, apalagi jika sekolah tersebut hanya memprioritaskan satu disiplin ilmu. Nantinya, bisa saja terjadi seorang lulusan seni rupa mengajar seni musik, maupun sebaliknya. Lalu, bagaimana para peserta didik dapat menerima ilmu yang kompeten dari pengajar yang kompeten pula?

Apakah seni hanya dianggap sebagai mata pelajaran “kelas bawah” pada sistem pendidikan di Indonesia? Lalu, sebenarnya bagaimanakah perkembangan seni rupa kita? Hingga saat ini, ada satu pertanyaan yang paling mengusik mahasiswa/i seni rupa, yakni di manakah posisi kita ketika masuk ke tengah masyarakat umum jika seni itu sendiri masih termarjinalkan dalam sistem pendidikan dan lingkungan masyarakat?

 As Soon As Possible” yang diartikan “secepat mungkin” menjadi kegelisahan bagi mahasiswa seni rupa mengenai kondisinya ketika kembali ke tengah masyarakat. Wacana profesi dalam bidang seni rupa coba diutarakan dalam Pameran “Lempuyangan-Pasar Senen” yang diikuti oleh 4 institusi seni dari kota Jakarta dan Yogyakarta—Institut Kesenian Jakarta, Universitas Negeri Jakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan Universitas Negeri Yogyakarta. Pameran yang diadakan di Galeri Cipta II, TIM, Jakarta ini merupakan kali kedua terjalinnya kerja sama di bidang seni antara masing-masing institusi tersebut. Tahun lalu, acara ini diselenggarakan di kota Yogyakarta. Sebagai calon-calon individu yang akan menjadi seniman, pengajar seni, ataupun praktisi seni rupa yang lainnya, penyelenggaraan pameran kali ini merupakan sebuah upaya untuk memposisikan diri di depan masyarakat luas. Tentunya, sebagai mahasiswa/i seni rupa yang memiliki tanggung jawab atas ilmu yang telah didapat, wacana mengenai profesi ini harus dapat segera dijawab agar para individu tersebut dapat memiliki tempat dan peran di tengah masyarakat luas, juga agar kesenian dapat berpengaruh dan berkembang di tiap lapisan masyarakat.

Selamat berpameran untuk semua teman antarkota, antarinstitusi. Semoga tali silahturahmi ini dapat terus terjalin dengan mesra...

Angga Wijaya
6 April 2013
Jurusan Pend. Seni Rupa,
Universitas Negeri Jakarta


*penulisan ini sebagai pengantar katalog pameran 2 kota 4 Institusi “Lempuyangan-Ps.Senen #2”, Yogyakarta-Jakarta; IKJ, UNJ, ISI Yogya, UNY. Diselenggarakan di Galeri Cipta II, TIM, Jakarta pada tanggal 22-26 April 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar