Menengok Peran Pendidikan
“Mereka tahu hasil dari 2+2=4, tapi tak tahu mengapa
2x2 juga sama dengan 4”
Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 3
Bicara perkembangan seni rupa Indonesia saat ini, berarti
juga menelisik institusi pendidikan yang melatarbelakanginya, sebuah lembaga
yang menjanjikan ilmu sesuai bidangnya sehingga menghasilkan seorang individu yang kompeten sesuai
bidang ilmu yang digelutinya pula.
Pelajaran seni di sekolah, saat ini, dirangkum dalam
sebuah mata pelajaran bernama
Seni dan Budaya. Cakupan materinya meliputi berbagai disiplin ilmu seni, seperti seni rupa, seni musik, dan
seni tari. Beragamnya disiplin ilmu yang diajarkan tersebut berbanding
terbalik dengan waktu
mengajar yang diberikan oleh sistem pendidikan di sekolah, yaitu 2x45 menit/kelas dalam satu
kali pertemuan tiap
minggunya. Dengan terbatasnya waktu mengajar
tersebut, apakah peserta
didik akan dapat
memahami seluruh materi yang diberikan?
Sementara
itu, berbicara tentang
faktor pengajar (guru), tidak semuanya menguasai seluruh subdisiplin ilmu yang terdapat dalam
mata pelajaran Seni dan Budaya. Biasanya,
para pengajar tersebut cenderung hanya menguasai satu subdisiplin ilmu, sesuai
dengan latar belakang pendidikannya. Sebagai contoh, seorang pengajar
Seni dan Budaya lulusan fakultas seni rupa tentu akan lebih
sering membahas berbagai karya seni rupa di hadapan para muridnya. Sementara
itu, seorang pengajar lulusan fakultas seni musik tentunya akan lebih sering
membicarakan sejarah dan perkembangan seni musik ketimbang bicara seni rupa. Sebuah ironi
apabila di suatu sekolah tidak ada filterisasi ketat mengenai kompetensi
pengajar yang sesuai, apalagi jika sekolah tersebut hanya memprioritaskan satu
disiplin ilmu. Nantinya, bisa saja terjadi seorang lulusan seni rupa mengajar
seni musik, maupun sebaliknya. Lalu, bagaimana para peserta didik dapat menerima ilmu yang kompeten
dari pengajar yang kompeten pula?
Apakah seni hanya dianggap sebagai mata pelajaran “kelas bawah” pada
sistem pendidikan di Indonesia? Lalu, sebenarnya bagaimanakah perkembangan seni rupa
kita? Hingga saat ini, ada satu pertanyaan yang paling mengusik
mahasiswa/i seni rupa, yakni di manakah posisi kita ketika masuk ke tengah masyarakat umum jika seni
itu sendiri masih termarjinalkan dalam sistem pendidikan dan lingkungan
masyarakat?
“As Soon As Possible” yang diartikan “secepat mungkin”
menjadi kegelisahan bagi mahasiswa seni rupa mengenai kondisinya ketika kembali ke tengah masyarakat. Wacana
profesi dalam bidang seni rupa coba diutarakan dalam Pameran “Lempuyangan-Pasar
Senen” yang diikuti oleh 4 institusi seni dari kota Jakarta dan Yogyakarta—Institut Kesenian Jakarta,
Universitas Negeri Jakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan Universitas
Negeri Yogyakarta. Pameran yang diadakan di Galeri Cipta II, TIM,
Jakarta ini merupakan kali kedua terjalinnya kerja sama di bidang seni antara masing-masing institusi
tersebut. Tahun lalu, acara ini diselenggarakan di kota Yogyakarta. Sebagai calon-calon individu yang
akan menjadi seniman, pengajar seni, ataupun praktisi seni rupa yang lainnya,
penyelenggaraan pameran
kali ini merupakan sebuah upaya untuk memposisikan diri di depan masyarakat luas.
Tentunya, sebagai
mahasiswa/i seni rupa yang memiliki tanggung jawab atas ilmu yang
telah didapat, wacana mengenai
profesi ini
harus dapat
segera dijawab agar para
individu tersebut dapat
memiliki tempat dan peran di tengah masyarakat luas, juga agar kesenian dapat berpengaruh dan
berkembang di tiap lapisan masyarakat.
Selamat berpameran untuk semua teman antarkota, antarinstitusi. Semoga tali silahturahmi ini dapat
terus terjalin dengan mesra...
Angga Wijaya
6 April 2013
Jurusan Pend.
Seni Rupa,
Universitas
Negeri Jakarta
*penulisan ini sebagai pengantar
katalog pameran 2 kota 4 Institusi “Lempuyangan-Ps.Senen #2”, Yogyakarta-Jakarta;
IKJ, UNJ, ISI Yogya, UNY. Diselenggarakan di Galeri Cipta II, TIM, Jakarta pada
tanggal 22-26 April 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar