Rabu, 01 Mei 2013

Animal Insticnt (a group Exhibition)


Animal Instinct: Latar belakang pendidikan dan jalan menuju eksistensi dunia seni rupa yang lebih luas
Pengantar Kuratorial
Oleh: Angga Wijaya

Kurang nyaring dan tidak meledak-ledak...
Parasnya cantik tapi jarang keluar rumah...
Mau balapan tapi jalannya rusak...
Berangkatnya pagi, tapi salah jalan...
Siap ujian tetapi lupa sarapan...
                                   
Seperti itulah sebuah sajak yang dituliskan oleh teman saya Hari Prasetyo a.k.a Otoy dalam menanggapi sebuah situasi yang terjadi pada mahasiswa Seni Rupa, Universitas Negeri Jakarta. 
Universitas Negeri Jakarta merupakan Institusi berbasis pendidikan, salah satu Jurusan di dalamnya yaitu Pendidikan Seni Rupa,  yang mempelajari ilmu seni rupa dalam teori pendidikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa lembaga tersebut akan mencetak pendidik bagi generasi penerus bangsa. Walau demikian disiplin ilmu seni rupa yang menjadi prioritas utama, sebagaimana ilmu tersebut yang bersifat keahlian (skil), yang dipelajari sebagai basic keahlian individu, tidak bisa dipungkiri pula dapat membuka peluang-peluang untuk menjadi profesi yang lain, dengan latar seni yang sangat luas, sesuai keinginan individu masing-masing yang menentukan. Dengan keberagaman profesi yang dapat dipilih tersebut menjadi bentuk ke-bias-an individu selama masih mengenyam pendidikan untuk menentukan profesi yang akan dipilihnya.

Berbeda memang dengan Institusi seni rupa murni seperti Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Senirupa Indonesia (ISI) yang berada di berbagai kota di Indonesia, terutama kota Yogyakarta yang telah menghasilkan nama-nama seniman besar. Institusi seni rupa murni tersebut secara akademik mempelajari ilmu seni rupa dengan lebih fokus kepada penciptaan dan pengkajian serta ditunjang sarana dan prasarana yang mendukung, secara umum sudah jelas akan mencetak nama-nama seniman yang berkompeten, dan itu sudah terbukti dari perjalanan kesenian di Indonesia, yang telah banyak berpengaruh dalam perkembangan kesenian sampai sekarang.

Dengan modal pengalaman yang cukup, juga dengan segala tekad dan upaya untuk meramaikan dan melanjutkan keberlangsungan kesenian secara lebih luas, maka sejumlah individu dengan latar belakang pendidikan non-murni berinisiatif untuk membuka jalan bagi eksistensi mereka dalam memasuki dunia seni rupa secara lebih luas, dunia ke-seniman-an, yang akan diisi tentang proses penciptaan karya yang lebih fokus, dengan pengkajian seni yang lebih serius, serta dengan segala perhitungan yang akan menghasilkan dampak bagi masyarakat untuk memahami, menghargai, dan menikmati karya seni secara lebih apresiatif. Dunia seni rupa yang juga hiruk pikuk dengan pasar, dengan persaingan dan segala hal problematik kebudayaan yang siap harus siap akan mereka geluti.

The Animal Instinct: Natural Sign

Animal Instinct merupakan sebuah ide yang dipilih sebagai “tanda alam” dalam pameran group ini. Insting terasah dari kebiasaan yang terjadi dalam keseharian, yang menghasilkan sebuah pengalaman, dari pengalaman tersebut yang menjadi sebuah proses pembelajaran. Begitu pula yang dialami oleh pameris mengusung tema Animal Instinct yang dapat diartikan dalam proses keberkaryaan. Secara tidak sadar dan sadar insting itu timbul dari proses, semakin giat insting itu terasah semakin tajam pula insting yang dimiliki.

Layaknya hewan yang hidup menggunakan insting, sains membuktikan bahwa hewan memiliki keunikan tertentu yang tidak dimiliki oleh manusia, seperti kepekaan yang merupakan bagian dari tanda-tanda alam. Tanda-tanda tersebut didapatkan dari naluri hewan dalam menyikapi gejala alam, hal itu yang kerap dipahami manusia sebagai mitos atau mitologi yang berkembang menjadi peradaban kehidupan sampai sekarang.

Insting hewan dan manusia berbeda, hewan hidup lebih banyak membutuhkan insting ketimbang manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun dengan insting, hewan tidak dapat meningkatkan dan mempertinggi kecakapannya karena lebih dikuasai oleh dorongan nafsu. Sedangkan pada manusia, meskipun mempunyai insting, namun hal itu tidak menjadi pendorong utama manusia untuk melakukan pergerakan maupun tindakan, karena lebih memakai akal pikiran.

Manusia dan hewan mempunyai hubungan sebagai objek dan tanda dari kehidupan di alam semesta ini. Insting bukan hanya sebagai “alat” yang digunakan masing-masing antara manusia dan hewan sebagai mahkluk hidup. Namun keterkaitan antara manusia dan hewan melihatkan realitas dalam menyesesuaikan hidup, bertahan ataupun saling menyerang.

Judul pameran ini mencoba menengahkan hubungan insting manusia dan hewan sebagai nilai refleksi kehidupan di alam sekitarnya. Bagaimana melihat hubungan tersebut dengan cara yang berbeda, dari proses pencarian, mendalami dan memahami. Sehingga menunjukan suatu pandangan tertentu mengenai hakikat kehidupan manusia dan hewan yang dibangun dari persepsi bentuk visual dan kreatifitas penciptaan karya seni rupa yang diusung oleh pameris.

Pameran ini menampilkan karya-karya dari seniman muda yang mencoba melihatkan hasil dari proses penciptaan karya seni rupa-nya. Dengan menggali berbagai macam kecenderungan disiplin ilmu seni rupa, seperti seni lukis, seni grafis murni, instalasi, video art dan performance art. Media tersebut dipilih oleh pameris sesuai pendalaman keahlian yang mereka geluti, dan mencari nilai dari medium tersebut sesuai tema yang diangkat. Mereka mengeksplorasi, mengkarakteristikan dan menghasilkan kesesuaian antara visual, tema, dan karya masing-masing pameris satu sama lain.

Pada karya Adi Dhigel yang berjudul Kampung Semut (2012), Dhigel mengambil nilai dari perilaku semut yang bekerja bergotong royong dalam koloninya, nilai tersebut direfleksikan dalam perilaku manusia di sebuah kampung. Dengan media seni grafis cukil kayu Dhigel mengangkat fenomena kerja bakti yang sekarang hampir tidak pernah lagi terlihat, bahkan di daerah perkampungan sekalipun. Kesibukan manusia akan kegiatan mencari uang dan menghabiskannya membuat manusia lupa akan lingkungan di sekitar, entah menjaga kebersihan lingkungan ataupun interaksi dengan masyarakat di tempat tinggalnya.

Sementara itu Amy “simonyetbali” memakai media seni lukis, dengan karakter komikal yang memakai figur primata karya ini diberi judul To.Uch (2012) yang mengambil simbolisasi interaksi. Dengan mengambil repesentasi karya Michelangelo “The Creation of Adam” Amy mempermainkannya dengan mengganti sosok personal diri dengan primata.

Sedangkan Anita Bonit memilih memakai cetak saring (sablon) serta di mix oleh media bordir di atas tekstil. Dalam karya yang berjudul Doggy Style (2012) sebagai sebuah istilah yang berarti posisi atau gaya dalam bercinta (hubungan seksual), namun persepsi tersebut dipermainkan dalam visual yang lebih ceria dan menghibur seperti pada pertunjukan sirkus, sehingga memiliki makna lain dari istilah yang dibuat.

Dhado Wacky dengan judul Human Wild (2012) mengangkat isu keliaran manusia yang kadang kala bisa dapat dikatakan hampir sama seperti binatang, ia mencoba mengkritisi hal itu. Dhado yang terbiasa mengerjakan karya Mural, dalam karya ini Ia mengeksplorasi melukis dengan media papan kayu yang berukuran 2meter.

Ada dua karya yang terpisah ditampilkan Daniel Ferryansyah, satu dengan canvas panjang sedangkan yang satu karya lagi enam potong kanvas yang saling terkait satu sama lain. Daniel mempunyai persepsi bahwa proses melukis memakai insting, hal itu berjalan dengan sendirinya tanpa direncakan, seperti itu pula ia memberi judul pada karyanya yaitu Insting (2012). Persepsi tersebut yang menghasilkan berbagai visual secara spontan dan ekspresif.

Led Eat Bee (2012) sebuah plesetan lagu The Beatles yang dijadikan Moch. Hasrul sebagai judul karya, dengan karya Instalasi sepeda yang terkait dengan visual lebah didepannya. Sifat karya tersebut membutuhkan interaksi, yang dapat direspon dan akan berjalan bila digenjot, sehingga visual lebah yang dipasang lampu Leed di depannya akan menyala.  Sifat lebah yang merupakan binatang pekerja keras, menjadi nilai refleksi antara kegiatan menggowes dan hasil yang didapatkan dari kegiatan tersebut.

Pada lukisan Moh. Haryo Hutomo yang mempunyai karakter naif dengan eskplorasi media yang bertekstur. Karya Haryo dengan judul P.O.P (2012) ini merupakan sebuah sikap kritis pada situasi dunia populer saat ini, yang dipresentasikan ulang ke dalam sebuah lukisan dengan visual hewan unta sesuai imajinasinya.

Berbeda dengan Muchlis “Dafpig”, dengan karakter visual babi pada setiap karyanya, dengan judul Hope (2012) menceritakan sebuah kisah tentang lelaki dengan babi sebagai binatang peliharaannya. Narasi yang disampaikan tersebut menjadi sebuah makna yang berarti sikap manusia tanpa pandang bulu untuk melestarikan sinkronisasi kehidupan antara hewan dan manusia.

Sedangkan Rishma Riyasa dengan kepiwaian drawing memberi judul karyanya yaitu Simbiosis (2012). Konsep itu divisualisasikan dengan bentuk kombinasi antara manusia dan hewan, yang dibacakan melalui sifat-sifat manusia yang terkadang sama dengan karakter hewan. Karyanya hadir dengan berbagai ukuran, mengilustrasikan hubungan antara manusia dan hewan yang saling menyatu dan saling membutuhkan secara simbiosis. 

Sama halnya dengan Rishma, Riezky Ponga menguak interaksi pada karya performance art. Ia mendisplay parutan es di sentral dengan mangkuk yang mengelilinya, lalu ia memasangkan tali pada setiap mangkuk agar terkait dengan parutan es, di pameran ini Ponga akan mengadakan pertunjukan sedang memarut es, dan kemudian akan ia tuang sirup disetiap mangkuk yang sudah disediakan.

Dari tema tersebut kita bisa menguak realitas yang dibawa oleh pameris secara universal, komunal maupun kesan personal. Kecenderungan tema yang digali dari insting hewan ini dijadikan cerminan pada nilai-nilai keberlangsungan hidup manusia, ada pula yang memposisikan diri personal layaknya sebuah hewan, atau pun cerita keberdampingan antara hewan dan manusia. Para pameris mencoba mengilhami posisi mereka sebagai manusia dalam menyikapi sinkronisasi kehidupan di alam semesta yang luas ataupun dari hal yang paling kecil di alam sekitarnya, sebagai sarana untuk memahami dunia sekeliling kita secara kreatif.

Pameran yang mengambil tema Animal Insticnt ini diselenggarakan sebagai tonggak awal para seniman muda ini memasuki wilayah seni rupa secara lebih luas, maka dari tu setelah pameran ini diselenggarakan sang seniman muda dituntut konsistensinya dalam menjalani dunia seni rupa, sesuai itikad baik bagi keberlangsungan kesenian, tanpa mengurangi pula “insting” pendidik yang didapat dari latar belakang pendidikan untuk tetap dan terus membagi ilmu.

Jakarta, 19 Desember 2012.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar