Senin, 15 Oktober 2012

Kembali ke Konvensi?


Review Trienal Seni Grafis IV 2012

Perhelatan pameran Seni Grafis tiga tahunan ini memasuki babak ke 4 pada tahun 2012, yang diselenggarakan pada 04-14 Oktober di Bentara Budaya Jakarta dan akan diselenggarakan di empat kota lainnya, dimana Bentara Budaya bertempat, seperti Solo, Yogyakarta dan Bali. Kompetisi yang menyaring para pengrafis secara nasional ini telah dibuka sejak bulan Mei tahun ini, dan menghasilkan 51 karya dari 43 pameris.

Trienale Seni Grafis ke IV kali ini menekankan kembalinya seni grafis kepada kategori teknik konvensional yang telah dikenal, yang terbagi menjadi empat bagian yaitu Cetak Tinggi (Cukilan Kayu dan Lino), Cetak Datar (Litografi), Cetak Dalam (Etsa, Drypoint, Mezzotint), dan Cetak Saring (Sablon). Seperti yang dijelaskan oleh Ketua Dewan Juri, Aminudin TH Siregar yang ingin menegakan konsekuensi dan subtansi Trienale terkait penggunaan istilah “seni grafis” tersebut, yang perlu dipelihara dan dikembangkan untuk kedepannya sebagai komitmen dan konsistensi ”ideologi” perhelatan ini.

Suasana pembukaan pameran

Pengunjung sedang mengapresiasi karya


Kompetisi ini menghasilkan 3 pemenang, yaitu Agung Prabowo dengan judul karya “Nirbaya Jagratara (tak gentar selalu waspada)” dengan teknik cukil lino menggunakan 16 warna sebagai juara pertama. Dari karya Agung, mungkin kita akan bertanya bagaimana membuat pewarnaan yang begitu banyak? Bahkan dengan medium yang cukup sulit untuk menerapkan reduksi. Sedangkan juara ke dua yaitu M. Fadhil Abdi dengan judul karya “Art, Girl, and Murder” memiliki kecakapan yang luar biasa pada teknik Cukil Kayu yang sederhana namun dapat menghasilkan visual yang berdimensi tidak plot atau blok (kecenderungan karya grafis). Dan pada juara ke tiga jatuh kepada Theresia Agustina Sitompul yang mengemas karya Dry point menjadi sebuah Book Story yang begitu menarik dengan judul “Book, Print and Memory”.

Pada tahun ini kompetisi dipenuhi oleh para pameris muda, apakah ini akan menjadi nafas baru bagi keberlangsungan seni grafis murni di Indonesia? Sebaliknya dalam kompetisi kali ini nama-nama penggrafis sebelumnya yang lebih populer kurang terlihat, baik yang kerap mengikuti event seni grafis maupun sudah menjadi seniman grafis ternama. Apakah perhelatan kali ini kurang diminati atau diamini oleh seniman-seniman tersebut sebagai  “pesta rakyat seni grafis” di Indonesia? Atau seni grafis tidak begitu menjanjikan bagi pasar seniman tersebut? Dan mungkin kembali ke Konvensi, membuat karya para seniman tersebut tidak terseleksi disebabkan karya mereka sudah begitu eksploratif dengan paham kontemporer yang lebih nge-trend di pasaran.

Melihat secara geografis kompetisi ini didominasi oleh kota Bandung dan Yogyakarta, selain itu hanya ada perwakilan masing-masing satu atau dua nama dari kota Solo, Bali, dan Padang. Yogyakarta dan Bandung masih menjadi kutub persaingan seni rupa di Indonesia, dua kota ini memang paling produktif menghasilkan seniman. Hal tersebut tak bisa dielakan bahwa sarana dan prasarana kesenian lebih tersedia, seperti hal-nya dua Institusi yang terdapat di dua kota tersebut yaitu ISI Yogyakarta dan ITB. Melihat ranah seni grafis kedua kota tersebut dengan masing-masing Institusi-nya telah membuat pemahaman bagi keberlangsungan seni grafis di Indonesia sampai saat ini. ITB sarana untuk proses penciptaan seni grafis cetak datar (Litografi) dan cetak dalam (Etsa, Drypoint, Mezzotint) di Indonesia hanya tersedia disana. Sedangkan di Yogyakarta sesuai dengan atmosfer kesenian yang begitu deras, sampai saat ini seni grafis juga masih menjadi medium proses penciptaan karya yang digemari.

Karya pemenang pertama: Agung Prabowo

Pemenang ke dua: M. Fadhlil Abdi

Pemenang ke tiga: Theresia Agustina Sitompul


Pada tahun ini pula Cetak Tinggi seperti Cukil Kayu (Wood Cut) masih menjadi media yang paling banyak digunakan oleh pameris, hal itu dapat dikatakan karena media tersebut paling mudah didapatkan, digunakan dan dieksplorasi. Cetak Tinggi dapat dikerjakan secara lebih simple dan mandiri ketimbang teknik grafis lainnya, yang membutuhkan perangkat dan tempat (studio) yang memumpuni dan mendukung proses penciptaan teknik tersebut, seperti Cetak Datar dan Cetak Dalam yang media pun sulit didapatkan. Sedangkan Cetak Saring (Sablon) dalam perhelatan tahun ini hanya satu karya yang dihadirkan, dikarenakan belum banyak yang menyadari pemakaian teknik ini sebagai sebuah karya seni yang murni ketimbang pemakaian untuk industri.

Dengan mengembalikan seni grafis ke konvensi lama, telah membuat pengkrucutan pada hasil seleksi karya-karya grafis yang dihadirkan, kecenderungan yang terjadi yaitu kurangnya eksplorasi pada pengembangan teknik seni grafis yang lain, sehingga banyak karya yang hadir hanya menggunakan media yang paling populer yaitu Cetak Tinggi (Cukil Kayu). Menjadikan hal yang paling terpenting dikedepankan yaitu esensi dari “seni grafis” (proses dan teknis) ketimbang dari hasil yang maksimal dari sebuah karya, terutama visual.

Ada beberapa karya yang dapat dikatakan kurang baik secara visual, misalkan keseimbangan warna antara hitam dan putih, antara yang dicukil dan yang tercetak  sehingga visual yang dihasilkan dapat jelas terlihat dan estetik dipandang. Namun hal tersebut hanya sebagian pandangan kecil dari kompetisi ini, dari keterbatasan konvensi yang ditetapkan juga tak mengurangi para pameris untuk berhasil menutupi kekurangan tersebut, terutama dalam kecakapan secara teknik yang luarbiasa. Konsekuensi yang ditetapkan oleh dewan juri tersebut setidaknya dapat mengkokohkan nilai dari esensi seni grafis dari pengertian mengenai “seni cetak” yang sangat luas dan dari penyerbuan arus paham seni kontemporer yang semakin bias dan bebas.


Angga Wijaya
Oktober 2012

tulisan ini diposting pula di:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar