Animal
Instinct: Latar
belakang pendidikan dan jalan menuju eksistensi dunia seni rupa yang lebih luas
Pengantar
Kuratorial
Oleh: Angga
Wijaya
Kurang nyaring dan tidak
meledak-ledak...
Parasnya cantik tapi jarang
keluar rumah...
Mau balapan tapi jalannya
rusak...
Berangkatnya pagi, tapi salah
jalan...
Siap ujian tetapi lupa sarapan...
Seperti itulah sebuah sajak yang dituliskan oleh teman saya Hari
Prasetyo a.k.a Otoy dalam menanggapi sebuah situasi yang terjadi pada mahasiswa
Seni Rupa, Universitas Negeri Jakarta.
Universitas Negeri Jakarta merupakan
Institusi berbasis pendidikan, salah satu Jurusan di dalamnya yaitu Pendidikan
Seni Rupa, yang mempelajari ilmu seni rupa
dalam teori pendidikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa lembaga tersebut akan
mencetak pendidik bagi generasi penerus bangsa. Walau demikian disiplin ilmu
seni rupa yang menjadi prioritas utama, sebagaimana ilmu tersebut yang bersifat
keahlian (skil), yang dipelajari
sebagai basic keahlian individu,
tidak bisa dipungkiri pula dapat membuka peluang-peluang untuk menjadi profesi
yang lain, dengan latar seni yang sangat luas, sesuai keinginan individu
masing-masing yang menentukan. Dengan keberagaman profesi yang dapat dipilih
tersebut menjadi bentuk ke-bias-an individu selama masih mengenyam pendidikan
untuk menentukan profesi yang akan dipilihnya.
Berbeda memang dengan Institusi seni rupa murni seperti Institut
Kesenian Jakarta (IKJ), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Senirupa
Indonesia (ISI) yang berada di berbagai kota di Indonesia, terutama kota
Yogyakarta yang telah menghasilkan nama-nama seniman besar. Institusi seni rupa
murni tersebut secara akademik mempelajari ilmu seni rupa dengan lebih fokus
kepada penciptaan dan pengkajian serta ditunjang sarana dan prasarana yang
mendukung, secara umum sudah jelas akan mencetak nama-nama seniman yang
berkompeten, dan itu sudah terbukti dari perjalanan kesenian di Indonesia, yang
telah banyak berpengaruh dalam perkembangan kesenian sampai sekarang.
Dengan modal pengalaman yang cukup, juga dengan segala tekad dan upaya
untuk meramaikan dan melanjutkan keberlangsungan kesenian secara lebih luas,
maka sejumlah individu dengan latar belakang pendidikan non-murni berinisiatif
untuk membuka jalan bagi eksistensi mereka dalam memasuki dunia seni rupa
secara lebih luas, dunia ke-seniman-an, yang akan diisi tentang proses
penciptaan karya yang lebih fokus, dengan pengkajian seni yang lebih serius,
serta dengan segala perhitungan yang akan menghasilkan dampak bagi masyarakat
untuk memahami, menghargai, dan menikmati karya seni secara lebih apresiatif.
Dunia seni rupa yang juga hiruk pikuk dengan pasar, dengan persaingan dan
segala hal problematik kebudayaan yang siap harus siap akan mereka geluti.
The Animal Instinct:
Natural Sign
Animal Instinct merupakan sebuah ide yang
dipilih sebagai “tanda alam” dalam pameran group ini. Insting terasah dari
kebiasaan yang terjadi dalam keseharian, yang menghasilkan sebuah pengalaman,
dari pengalaman tersebut yang menjadi sebuah proses pembelajaran. Begitu pula yang
dialami oleh pameris mengusung tema Animal
Instinct yang dapat diartikan dalam proses keberkaryaan. Secara tidak sadar
dan sadar insting itu timbul dari proses, semakin giat insting itu terasah
semakin tajam pula insting yang dimiliki.
Layaknya
hewan yang hidup menggunakan insting, sains membuktikan bahwa hewan memiliki
keunikan tertentu yang tidak dimiliki oleh manusia, seperti kepekaan yang
merupakan bagian dari tanda-tanda alam. Tanda-tanda tersebut didapatkan dari
naluri hewan dalam menyikapi gejala alam, hal itu yang kerap dipahami manusia
sebagai mitos atau mitologi yang berkembang menjadi peradaban kehidupan sampai
sekarang.
Insting
hewan dan manusia berbeda, hewan hidup lebih banyak membutuhkan insting
ketimbang manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun dengan insting,
hewan tidak dapat meningkatkan dan mempertinggi kecakapannya karena lebih
dikuasai oleh dorongan nafsu. Sedangkan pada manusia, meskipun mempunyai
insting, namun hal itu tidak menjadi pendorong utama manusia untuk melakukan
pergerakan maupun tindakan, karena lebih memakai akal pikiran.
Manusia
dan hewan mempunyai hubungan sebagai objek dan tanda dari kehidupan di alam
semesta ini. Insting bukan hanya sebagai “alat” yang digunakan masing-masing
antara manusia dan hewan sebagai mahkluk hidup. Namun keterkaitan antara
manusia dan hewan melihatkan realitas dalam menyesesuaikan hidup, bertahan
ataupun saling menyerang.
Judul
pameran ini mencoba menengahkan hubungan insting manusia dan hewan sebagai
nilai refleksi kehidupan di alam sekitarnya. Bagaimana melihat hubungan
tersebut dengan cara yang berbeda, dari proses pencarian, mendalami dan
memahami. Sehingga menunjukan suatu pandangan tertentu mengenai hakikat
kehidupan manusia dan hewan yang dibangun dari persepsi bentuk visual dan
kreatifitas penciptaan karya seni rupa yang diusung oleh pameris.
Pameran
ini menampilkan karya-karya dari seniman muda yang mencoba melihatkan hasil
dari proses penciptaan karya seni rupa-nya. Dengan menggali berbagai macam
kecenderungan disiplin ilmu seni rupa, seperti seni lukis, seni grafis murni,
instalasi, video art dan performance art. Media tersebut dipilih oleh pameris sesuai pendalaman keahlian
yang mereka geluti, dan mencari nilai dari medium tersebut sesuai tema yang
diangkat. Mereka mengeksplorasi, mengkarakteristikan dan menghasilkan
kesesuaian antara visual, tema, dan karya masing-masing pameris satu sama lain.
Pada
karya Adi Dhigel yang berjudul Kampung
Semut (2012), Dhigel mengambil nilai dari perilaku semut yang bekerja
bergotong royong dalam koloninya, nilai tersebut direfleksikan dalam perilaku
manusia di sebuah kampung. Dengan media seni grafis cukil kayu Dhigel mengangkat fenomena kerja
bakti yang sekarang hampir tidak pernah lagi terlihat, bahkan di daerah perkampungan
sekalipun. Kesibukan manusia akan kegiatan mencari uang dan menghabiskannya
membuat manusia lupa akan lingkungan di sekitar, entah menjaga kebersihan
lingkungan ataupun interaksi dengan masyarakat di tempat tinggalnya.
Sementara itu Amy “simonyetbali” memakai media seni lukis, dengan
karakter komikal yang memakai figur primata karya ini diberi judul To.Uch (2012) yang mengambil simbolisasi
interaksi. Dengan mengambil repesentasi karya Michelangelo “The Creation of Adam” Amy mempermainkannya dengan mengganti sosok
personal diri dengan primata.
Sedangkan Anita Bonit memilih memakai cetak saring (sablon) serta
di mix oleh media bordir di atas tekstil. Dalam karya yang berjudul Doggy Style (2012) sebagai sebuah
istilah yang berarti posisi atau gaya dalam bercinta (hubungan seksual), namun
persepsi tersebut dipermainkan dalam visual yang lebih ceria dan menghibur
seperti pada pertunjukan sirkus, sehingga memiliki makna lain dari istilah yang
dibuat.
Dhado Wacky dengan judul Human
Wild (2012) mengangkat isu keliaran manusia yang kadang kala bisa dapat
dikatakan hampir sama seperti binatang, ia mencoba mengkritisi hal itu. Dhado
yang terbiasa mengerjakan karya Mural,
dalam karya ini Ia mengeksplorasi melukis dengan media papan kayu yang
berukuran 2meter.
Ada
dua karya yang terpisah ditampilkan Daniel Ferryansyah, satu dengan canvas
panjang sedangkan yang satu karya lagi enam potong kanvas yang saling terkait
satu sama lain. Daniel mempunyai persepsi bahwa proses melukis memakai insting,
hal itu berjalan dengan sendirinya tanpa direncakan, seperti itu pula ia
memberi judul pada karyanya yaitu Insting
(2012). Persepsi tersebut yang menghasilkan berbagai visual secara spontan dan
ekspresif.
Led Eat Bee (2012) sebuah plesetan
lagu The Beatles yang dijadikan Moch. Hasrul sebagai judul karya, dengan karya
Instalasi sepeda yang terkait dengan visual lebah didepannya. Sifat karya
tersebut membutuhkan interaksi, yang dapat direspon dan akan berjalan bila
digenjot, sehingga visual lebah yang dipasang lampu Leed di depannya akan
menyala. Sifat lebah yang merupakan
binatang pekerja keras, menjadi nilai refleksi antara kegiatan menggowes dan
hasil yang didapatkan dari kegiatan tersebut.
Pada
lukisan Moh. Haryo Hutomo yang mempunyai karakter naif dengan eskplorasi media
yang bertekstur. Karya Haryo dengan judul P.O.P
(2012) ini merupakan sebuah sikap kritis pada situasi dunia populer saat ini,
yang dipresentasikan ulang ke dalam sebuah lukisan dengan visual hewan unta
sesuai imajinasinya.
Berbeda
dengan Muchlis “Dafpig”, dengan karakter visual babi pada setiap karyanya, dengan
judul Hope (2012) menceritakan sebuah
kisah tentang lelaki dengan babi sebagai binatang peliharaannya. Narasi yang
disampaikan tersebut menjadi sebuah makna yang berarti sikap manusia tanpa
pandang bulu untuk melestarikan sinkronisasi kehidupan antara hewan dan
manusia.
Sedangkan
Rishma Riyasa dengan kepiwaian drawing memberi
judul karyanya yaitu Simbiosis (2012).
Konsep itu divisualisasikan dengan bentuk kombinasi antara manusia dan hewan,
yang dibacakan melalui sifat-sifat manusia yang terkadang sama dengan karakter
hewan. Karyanya hadir dengan berbagai ukuran, mengilustrasikan hubungan antara
manusia dan hewan yang saling menyatu dan saling membutuhkan secara
simbiosis.
Sama
halnya dengan Rishma, Riezky Ponga menguak interaksi pada karya performance art.
Ia mendisplay parutan es di sentral dengan mangkuk yang mengelilinya, lalu ia
memasangkan tali pada setiap mangkuk agar terkait dengan parutan es, di pameran
ini Ponga akan mengadakan pertunjukan sedang memarut es, dan kemudian akan ia
tuang sirup disetiap mangkuk yang sudah disediakan.
Dari
tema tersebut kita bisa menguak realitas yang dibawa oleh pameris secara
universal, komunal maupun kesan personal. Kecenderungan tema yang digali dari
insting hewan ini dijadikan cerminan pada nilai-nilai keberlangsungan hidup
manusia, ada pula yang memposisikan diri personal layaknya sebuah hewan, atau pun
cerita keberdampingan antara hewan dan manusia. Para pameris mencoba mengilhami
posisi mereka sebagai manusia dalam menyikapi sinkronisasi kehidupan di alam
semesta yang luas ataupun dari hal yang paling kecil di alam sekitarnya,
sebagai sarana untuk memahami dunia sekeliling kita secara kreatif.
Pameran yang mengambil tema Animal
Insticnt ini diselenggarakan sebagai tonggak awal para seniman muda ini
memasuki wilayah seni rupa secara lebih luas, maka dari tu setelah pameran ini
diselenggarakan sang seniman muda dituntut konsistensinya dalam menjalani dunia
seni rupa, sesuai itikad baik bagi keberlangsungan kesenian, tanpa mengurangi
pula “insting” pendidik yang didapat dari latar belakang pendidikan untuk tetap
dan terus membagi ilmu.
Jakarta, 19 Desember 2012.