Senin, 05 November 2012

Pameran Tunggal Nasirun "Uwuh Seni"


Dua Sisi (1.000-an lukisan) Nasirun

“Uwuh Seni” jika diartikan dari bahasa Jawa yang berarti Sampah Seni. Nasirun telah lama mengumpulkan undangan peristiwa kesenian, yang kemudian ia lukis kertas undangan tersebut, membingkainya, disimpan dalam box bingkai, diberi judul dan menempelkan foto karya tersebut pada bungkus bingkainya, sehingga dengan mudah ia mencari lukisan tersebut yang sudah terkumpul begitu banyak. Dua tahun lalu ia memperlihatkan salah satu contoh karya-nya itu saat saya berkunjung ke rumah beliau, luar biasa yang saya kira apa yang dilakukan Nasirun pada saat itu hanya sekedar “kurang kerjaan” namun tak disangka karya-karya tersebut berkecapaian untuk dipamerkan di Galeri Salihara sebagai Pameran Tunggal Nasirun yang berjudul “Uwuh Seni”, sungguh kerja kreatif yang sangat mengagumkan, dengan ketekunan dan kerja keras, beliau tak henti dan bosan melukiskan undangan tersebut sampai menembus angka 1.000-an buah karya.




Berbicara mengenai Nasirun
Berbicara Nasirun, berarti membicarakan pula kepribadiannya, kepribadian yang ramah dan apa adanya,  kesuksesannya dalam dunia seni rupa Indonesia tak membuatnya berubah, hidupnya tetap menampilkan kesederhanaan dan kesahajaan, pintu rumahnya selalu terbuka untuk siapapun. Hal yang menarik dari cerita kebanyakan orang tentang beliau, seperti pada pukul 02.00 sampai 04.00 siang hari merupakan jam yang tak dapat diganggu oleh siapapun, bahkan “Presiden” sekalipun jika beliau sedang tidur siang. Lalu kegemarannya terhadap taman dan tanaman, mengisi kegiatan beliau untuk menyapu halaman rumah-nya dan menyiram koleksi tanaman adalah aktifitas yang tak terlewatkan. Sehingga ada sebuah kejadian lucu, saat seorang pejabat penting mengunjungi rumah beliau untuk mengoleksi karya Nasirun secara langsung, pejabat itu tak percaya bahwa seseorang dengan penampilan yang biasa-biasa saja –yang lebih mirip seperti tukang sapu, sedang menyapu halaman tersebut adalah pemilik rumah yang bernama Nasirun. Begitu banyak hal yang menarik mengenai cerita dari seniman ini. Sosok welcome terhadap siapapun tersebut yang membuat beliau banyak dihormati sebagai seniman ternama Jogja, ketika saya berkunjung ke rumah seniman lain di Jogja, seniman-seniman lain tersebut kerap menanyakan hal yang sama terhadap saya yaitu “Sudah ke rumah Nasirun?”, bahkan ada yang membuat tebak-tebakan menggelitik  berbunyi seperti ini “Nasi, nasi apa yang sering dicari di Jogja?” Jika kita beranggapan jawabannya adalah Nasi Kucing ternyata salah, jawaban tersebut yaitu Nasirun.

Keberadaan Nasirun merupakan dua sisi antara yang Tradisi dan yang Modern, Nasirun selain dalam kepribadiannya yang kental terhadap nilai tradisi. Seperti pada perilakunya yang tidak menggunakan telepon seluler dan komputer dalam kehidupan keseharian, padahal kehadiran teknologi tersebut tidak bisa kita bantah dalam dunia Modern yang sangat kita perlukan, dunia yang dimana sekarang beliau alami.

Hal itu pun tercermin dalam proses keberkaryaan, nilai tersebut dijunjungnya sebagai karakteristik karya-karya beliau, jika perupa Jogja yang lain sibuk mengambil citraan “Pop” seperti karakter komik Amerika dan China yang sedang booming dengan istilah kontemporer, Nasirun hadir dengan fitur-fitur simbol tradisi Jawa dan Islam, menggambarkan sebagian sosok wayang yang sudah ada (lama), namun dapat dibilang baru karena wayang yang dihadirkan Nasirun telah dimodifikasi, dilebur kembali terhadap nilai Modern yang sedang terjadi. Karya-karya Nasirun tersebut memperkuat persepi bahwa nilai tradisi (Low Art) telah menjadi bagian dari pemaham seni kontemporer, salah kiranya menurut pribadi saya jika karya-karya Nasirun tidak disebut kontemporer, bahkan menurut saya karya-karya Nasirun merupakan jawaban dari Seni Rupa Kontemporer Indonesia.

Kerja kreatif-nya dalam dunia seni rupa, Nasirun jalani semua dengan apa yang disebut beliau sebagai kegembiraan, ia melukis selalu dengan rasa senang, apapun dicoba dengan mengeksplorasi berbagai media, menurutnya melukis tidak harus dibidang kanvas, mengutip pengantar pameran “Uwuh Seni” yang ditulis oleh Nirwan Dewanto, bagi Nasirun, Seni Lukis bisa berarti menghias, mengindahkan—dalam arti memperindah sekaligus memperhitungkan—bahan-bahan bekas, dan demikianlah si pelukis menjalankan semacam daur-ulang dengan caranya sendiri. Dari kecenderungan mengeksplorasi benda yang ada disekitarnya bahkan dapat dikatakan sudah menjadi sampah, merupakan sebuah kegiatan yang mengisi hidupnya, mengisi proses keberkaryaan beliau, sehingga dapat dikatakan Nasirun adalah seniman yang begitu kreatif dan produktif, sudah banyak kolektor yang ingin memiliki karya-nya, bahkan kanvas kosongpun sudah dipesan, seperti yang ia ceritakan bahwa beliau begitu banyak hutang karya yang belum dipenuhi dan pameran yang belum terselenggara untuk ia ikuti, kira-kira sampai tahun 2013.



Berbicara Pameran Tunggal Nasirun: “Uwuh Seni”
Nasirun merupakan seniman “kesayangan” Dr. Oei Hong Djien, hal itu diakui oleh sang kolektor yang membuka Pameran Tunggal Nasirun “Uwuh Seni” pada Sabtu malam, tanggal 03 November 2012. Selain itu sambutan berikutnya oleh Syakieb Sungkar dan Goenawan Mohamad selaku perwakilan Komunitas Salihara. Rombongan seniman dan pekerja seni Jogja ikut datang, yang turut membantu penyelenggaran pameran Nasirun selain sebagai bentuk apresiasi terhadap sang Seniman ini.

Pameran yang berlangsung sampai tanggal 25 November 2012 ini menampilkan 1.000-an kertas undangan yang telah mewujud menjadi karya lukis yang dikerjakan oleh Nasirun semenjak tahun 2008. Nasirun merespon berbagai undangan yang ia punya, undangan peristiwa kesenian: pameran seni rupa, teater dan bentuk kesenian lainnya. Undangan tersebut diberikan dari berbagai pihak, seperti kerabat Seniman, Gallery, Institusi dan Lembaga. Undangan memiliki nilai “rasa hormat” dari si empunya acara kepada orang yang diundang, ada makna di dalamnya dalam hal keberadaan dan sifat sosialisasi, sebuah rekam sejarah yang menyatakan peristiwa tersebut akan berlangsung dan menjadi kenangan setelah acara telah berlangsung. Sebab itulah Nasirun mengumpulkannya yang mungkin dari kebanyakan orang menilai bahwa bekas undang tersebut sudah menjadi sampah dan akan dibuang. Sikap kreatif Nasirun ini mengubah sampah menjadi “emas”,  kebiasan mengumpulkan bekas undangan ini serupa dengan kegemarannya yang lain seperti mengoleksi tanaman dan hal yang “sepele” lainnya, peralatan melukis yang tidak dipakai, palet, kuas, tabung cat, rebana, botol, bahkan buah kelapa kering yang jatuh di halaman rumah-nya. Bagi Nasirun bekas undangan tersebut mengingatkannya akan sebuah perubahan waktu, seperti yang dijelakan oleh Asikin Hasan selaku kurator pameran, bahwa disitu ada Drama kebergunaan dan akhir dari sebuah guna—menjadi sampah, yang silih berganti dengan berbagai model undangan, ditulis tangan, diketik, dicetak manual dan digital.

Terdapat gambar dan teks yang sudah tertera dalam setiap undangan, citraan itu yang ia respon; menambahkan gambar atau teks, menghapus sesuatu yang menurutnya tidak perlu, mewarnainya kembali sesuai selera, membentuk bidang yang lain sehingga menghasilkan komposisi baru, atau benar-benar menghabiskan ruang kertas tersebut dari jejak awal citraan yang ada. Nasirun melukiskannya dengan ekspresif, goresan kasar, lelehan cat, atau mengisinya dengan garis tegas dan dinamis berkecenderungan seperti kaligrafi, tak kecuali terdapat sosok wayang dan makhluk antah berantah terlihat seperti dedemit, pada warnapun ia kebanyakan memakai warna komplementer dan warna-warna tembaga, emas maupun perak. Hasil yang terjadi pada setiap karya-karya-nya memiliki makna personal seniman dalam  meresponsif secara sadar dari setiap isi bekas undangan tersebut yang berdiri sendiri maupun terlihat berangkaian dari masing-masing banyaknya karya yang terjalin.





Ribuan karya dengan berukuran kecil-kecil dan bevariasi tersebut ditata seperti membentuk instalasi karya dua dimensi. Hery Permad Management turut membantu mengatur penataan pameran Nasirun ini, dengan begitu banyak karya, penataan tidak terlihat mendesak namun dapat dibentuk lebih pas dipandang jarak mata dalam ruang pamer yang minimalis berbentuk singular tersebut. Hal yang menarik selain lukisan ini dipajang dengan bingkai, pada tengah galeri, karya lainnya di-display dengan kaca transparan yang dapat kita lihat secara dua sisi, untuk kita melihat satu sisi lainnya, isi dibalik undangan tersebut, siapa yang mengundang dan pada perhelatan apa, sehingga kita mendapat memahami responsif apa yang dilakukan sang seniman dalam isi bekas undangan tersebut. Secara pribadi saya beranggapan baru pertama kali ini saya mengunjungi pameran seni rupa di Galeri Salihara tertata begitu  apik. Jika mencermati begitu banyak lukisan, yang terjadi bukan membosankan, namun membuat kita penasaran pada setiap satu-persatu karyanya.

Pameran tunggal yang untuk kesekian kalinya ini merupakan sebuah titik pencapaian Nasirun dalam setiap kerja kreatif-nya yang tak henti-henti bereksplorasi dalam proses penciptaan karya-karyanya. “Uwuh Seni” yang menampilan Dua Sisi, antara yang lama menjadi yang baru, yang tradisi dan yang modern dan sifat undangan tersebut; antara dua sisinya, yang terlukis dan yang tertinggal. Pameran ini dapat dikatakan sebuah rekor dengan 1.000-an karya, sudah sepatutnya kita mengapresiasi ketekukan dari seniman ini dan apa yang telah diberikan Nasirun terhadap kesenian Indonesia.


Angga Wijaya
November 2012

foto oleh : INDOARTNOW
Database Komunitas Salihara
dapat dilihat di http://www.flickr.com/photos/salihara/sets/72157631927525894

Senin, 15 Oktober 2012

Kembali ke Konvensi?


Review Trienal Seni Grafis IV 2012

Perhelatan pameran Seni Grafis tiga tahunan ini memasuki babak ke 4 pada tahun 2012, yang diselenggarakan pada 04-14 Oktober di Bentara Budaya Jakarta dan akan diselenggarakan di empat kota lainnya, dimana Bentara Budaya bertempat, seperti Solo, Yogyakarta dan Bali. Kompetisi yang menyaring para pengrafis secara nasional ini telah dibuka sejak bulan Mei tahun ini, dan menghasilkan 51 karya dari 43 pameris.

Trienale Seni Grafis ke IV kali ini menekankan kembalinya seni grafis kepada kategori teknik konvensional yang telah dikenal, yang terbagi menjadi empat bagian yaitu Cetak Tinggi (Cukilan Kayu dan Lino), Cetak Datar (Litografi), Cetak Dalam (Etsa, Drypoint, Mezzotint), dan Cetak Saring (Sablon). Seperti yang dijelaskan oleh Ketua Dewan Juri, Aminudin TH Siregar yang ingin menegakan konsekuensi dan subtansi Trienale terkait penggunaan istilah “seni grafis” tersebut, yang perlu dipelihara dan dikembangkan untuk kedepannya sebagai komitmen dan konsistensi ”ideologi” perhelatan ini.

Suasana pembukaan pameran

Pengunjung sedang mengapresiasi karya


Kompetisi ini menghasilkan 3 pemenang, yaitu Agung Prabowo dengan judul karya “Nirbaya Jagratara (tak gentar selalu waspada)” dengan teknik cukil lino menggunakan 16 warna sebagai juara pertama. Dari karya Agung, mungkin kita akan bertanya bagaimana membuat pewarnaan yang begitu banyak? Bahkan dengan medium yang cukup sulit untuk menerapkan reduksi. Sedangkan juara ke dua yaitu M. Fadhil Abdi dengan judul karya “Art, Girl, and Murder” memiliki kecakapan yang luar biasa pada teknik Cukil Kayu yang sederhana namun dapat menghasilkan visual yang berdimensi tidak plot atau blok (kecenderungan karya grafis). Dan pada juara ke tiga jatuh kepada Theresia Agustina Sitompul yang mengemas karya Dry point menjadi sebuah Book Story yang begitu menarik dengan judul “Book, Print and Memory”.

Pada tahun ini kompetisi dipenuhi oleh para pameris muda, apakah ini akan menjadi nafas baru bagi keberlangsungan seni grafis murni di Indonesia? Sebaliknya dalam kompetisi kali ini nama-nama penggrafis sebelumnya yang lebih populer kurang terlihat, baik yang kerap mengikuti event seni grafis maupun sudah menjadi seniman grafis ternama. Apakah perhelatan kali ini kurang diminati atau diamini oleh seniman-seniman tersebut sebagai  “pesta rakyat seni grafis” di Indonesia? Atau seni grafis tidak begitu menjanjikan bagi pasar seniman tersebut? Dan mungkin kembali ke Konvensi, membuat karya para seniman tersebut tidak terseleksi disebabkan karya mereka sudah begitu eksploratif dengan paham kontemporer yang lebih nge-trend di pasaran.

Melihat secara geografis kompetisi ini didominasi oleh kota Bandung dan Yogyakarta, selain itu hanya ada perwakilan masing-masing satu atau dua nama dari kota Solo, Bali, dan Padang. Yogyakarta dan Bandung masih menjadi kutub persaingan seni rupa di Indonesia, dua kota ini memang paling produktif menghasilkan seniman. Hal tersebut tak bisa dielakan bahwa sarana dan prasarana kesenian lebih tersedia, seperti hal-nya dua Institusi yang terdapat di dua kota tersebut yaitu ISI Yogyakarta dan ITB. Melihat ranah seni grafis kedua kota tersebut dengan masing-masing Institusi-nya telah membuat pemahaman bagi keberlangsungan seni grafis di Indonesia sampai saat ini. ITB sarana untuk proses penciptaan seni grafis cetak datar (Litografi) dan cetak dalam (Etsa, Drypoint, Mezzotint) di Indonesia hanya tersedia disana. Sedangkan di Yogyakarta sesuai dengan atmosfer kesenian yang begitu deras, sampai saat ini seni grafis juga masih menjadi medium proses penciptaan karya yang digemari.

Karya pemenang pertama: Agung Prabowo

Pemenang ke dua: M. Fadhlil Abdi

Pemenang ke tiga: Theresia Agustina Sitompul


Pada tahun ini pula Cetak Tinggi seperti Cukil Kayu (Wood Cut) masih menjadi media yang paling banyak digunakan oleh pameris, hal itu dapat dikatakan karena media tersebut paling mudah didapatkan, digunakan dan dieksplorasi. Cetak Tinggi dapat dikerjakan secara lebih simple dan mandiri ketimbang teknik grafis lainnya, yang membutuhkan perangkat dan tempat (studio) yang memumpuni dan mendukung proses penciptaan teknik tersebut, seperti Cetak Datar dan Cetak Dalam yang media pun sulit didapatkan. Sedangkan Cetak Saring (Sablon) dalam perhelatan tahun ini hanya satu karya yang dihadirkan, dikarenakan belum banyak yang menyadari pemakaian teknik ini sebagai sebuah karya seni yang murni ketimbang pemakaian untuk industri.

Dengan mengembalikan seni grafis ke konvensi lama, telah membuat pengkrucutan pada hasil seleksi karya-karya grafis yang dihadirkan, kecenderungan yang terjadi yaitu kurangnya eksplorasi pada pengembangan teknik seni grafis yang lain, sehingga banyak karya yang hadir hanya menggunakan media yang paling populer yaitu Cetak Tinggi (Cukil Kayu). Menjadikan hal yang paling terpenting dikedepankan yaitu esensi dari “seni grafis” (proses dan teknis) ketimbang dari hasil yang maksimal dari sebuah karya, terutama visual.

Ada beberapa karya yang dapat dikatakan kurang baik secara visual, misalkan keseimbangan warna antara hitam dan putih, antara yang dicukil dan yang tercetak  sehingga visual yang dihasilkan dapat jelas terlihat dan estetik dipandang. Namun hal tersebut hanya sebagian pandangan kecil dari kompetisi ini, dari keterbatasan konvensi yang ditetapkan juga tak mengurangi para pameris untuk berhasil menutupi kekurangan tersebut, terutama dalam kecakapan secara teknik yang luarbiasa. Konsekuensi yang ditetapkan oleh dewan juri tersebut setidaknya dapat mengkokohkan nilai dari esensi seni grafis dari pengertian mengenai “seni cetak” yang sangat luas dan dari penyerbuan arus paham seni kontemporer yang semakin bias dan bebas.


Angga Wijaya
Oktober 2012

tulisan ini diposting pula di:

Rabu, 26 September 2012

“Lebaran Anak Muda Jakarta”

Review Pameran Jakarta 320 C

Galeri Nasional Indonesia pada malam minggu 22 September 2012, tak pernah seramai ini dikunjungi dalam pembukaaan pameran. Ruang pamer Gedung.C dipadatkan banyaknya pengunjung pada waktu pembukaan pameran, sehingga membuat ruang gerak apresiasi sangat sempit dan panas. Analogi panas pun berkesesuaian dengan kegiatan pameran dari Jakarta 320 C itu sendiri. Mungkin secara pribadi seolah-olah saya mengidentifikasikan panas yang dihadirkan ini merupakan sebuah bentuk karya pula yang menjadi bagian dari pameran tersebut.

Kali ke lima ruangrupa mengadakan program pameran yang bertajuk “Jakarta 320 C 2012”, sebuah pameran hasil karya visual mahasiswa se-Jabodetabek. Jakarta 320 C sudah banyak merangkul Institusi di Jakarta yang di antaranya 10 Universitas yang kerap diajak kerjasama dalam melebarkan program ini, seperti Institut Kesenian Jakarta, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Indonesia, Universitas Bina Nusantara, Universitas Pelita Harapan, Mercu Buana, UPI Y.A.I, Universitas Multimedia Nusantara, Universitas Tarumanegara dan Interstudi. Kegiatan pengumpulan karya bagi tim Jakarta 320 C yaitu membuka open submission bagi karya-karya mahasiwa, dan juga mengadakan workshop yang dapat diikuti dan akan di pamerkan sebagai presentasi hasil kegiatan.

Tidak hanya Universitas yang memiliki program pendidikan seni rupa di kampusnya saja yang telah diajak bekerjasama, melainkan Universitas yang lain yang tidak mempunyai program pendidikan seni rupa pun bisa berpartisipasi. Hal tersebut menjadikan keberagaman hasil karya visual yang dipamerkan. Berbagai macam pendekatan selain estetika pada wilayah seni rupa, juga menghasilkan kecenderungan baru dari latar belakang pendidikan yang dienyam masing-masing mahasiswa yang menjadi pameris atau peserta.

Suasana pembukaan pameran di dalam ruang pamer

Suasana di luar ruang pamer, para apresiator sedang menunggu pembukaan


Begitu banyak yang hadir dalam pembukaan pameran dengan mayoritas para muda-mudi Jakarta dan sekitarnya, layaknya seperti sebuah “Lebaran Anak Muda Jakarta”. Kumpul-kumpul tersebut pun menjadi ajang pertemuan dan silahturahmi, entah itu anak muda-mudi yang memang selama ini sudah dekat dengan kegiatan seni rupa;pameran ataupun tidak. Malam itu semua melebur, memahami dan menikmati karya seni yang mungkin selama ini dipandang eksklusif dan jarang mengunjungi ke sebuah tempat pameran seperti di Galeri Nasional Indonesia. Nama ruangrupa memang sudah menjadi gelombang trend populer bagi berbagai anak muda ibukota, mahasiswa, dan tak terkecuali kalangan anak sekolah sekarang.

Seni dan Kreatifitas memang sudah menjadi sesuatu hal yang Trend bagi lifestyle anak muda sekarang terutama di Ibukota. Trend tersebut berjalan seiring arus perkembangan yang terjadi pula dengan Musik dan Fashion. Seperti Street Art yang begitu dikenal saat sekarang ini, begitu pula-lah hal yang dilakukan dengan ruangrupa yang membuat progam dengan segmentasi anak muda. Meningkatnya pengunjung dari tahun ke tahun dengan tampilan begitu fashionable memberikan tanda bahwa secara tak sadar mengubah seni menjadi bagian dari lifestyle anak muda ibukota Jakarta itu sendiri. Melihat prespektif seni rupa secara lebih luas dan bias, kemudian masuk kepenjuru-penjuru bidang lain dengan memanfaatkan kota Jakarta sebagai medium berkarya, untuk kemudian dapat memahami seni dan kehidupan sekitar kita secara lebih nakal namun kreatif.

Apresiator sedang menikmati karya yang dihadirkan

Apresiator sedang mencoba menanggapi karya yang mempunyai daya interaksi


Berbicara mengenai pameran dan sebuah karya visual dalam respon kuantitas, karya-karya  yang dipamerkan pada tahun ini terlihat mengalami kesurutan. Namun dengan berbagai aspek yang melatar belakangi terciptanya hasil karya masing-masing pameris masih menjadi sesuatu yang menarik untuk dilihat dan diketahui. Menghadirkan berbagai macam kategori karya visual baik dalam karya dua dimensi ataupun tiga dimensi, antara murni dan desain, ataupun dilihat secara skill maupun konseptual, atau bahkan yang interaktif sekalipun, semua tetap sama-sama memperhitungkan makna dari sebuah visual. Terlihat dari berbagai disiplin ilmu yang coba di-hibridasi-kan, karya yang dipamerkan untuk dinikmati dan dikatakan sebuah karya seni mempunyai kapasitas dan kadar estetika yang berbagai macam pula sesuai dengan latar belakang ilmu dari masing-masing pameris. Selain itu pada presentasi hasil workshop, karya-karya yang dihasilkan mencoba menggali tema kota Jakarta sesuai dengan media workshop yang ada. Bila ditelisik, ada beberapa karya yang sangat berhasill dan menarik untuk dipresentasikan,  namun ada pula yang kurang sesuai dan terlihat sekedarnya karena berbagai hal dan keterbatasan.

Pameran Jakarta 320 C yang berlangsung sampai tanggal 8 oktober 2012 sudah menjadi upaya untuk menghadirkan proses kerja kreatif dari mahasiswa berbagai Universitas di Jabodetabek. Jakarta 320C ada sebagai wadah untuk mengkompetesikan secara positif kehadiran karya-karya visual dengan berbagai macam pendekatan ilmu, dan memberi nafas baru dalam melebarkan kegiatan seni, ruang dan apresiator baru secara lebih luas.



Angga Wijaya
September 2012


artikel ini diposting oleh: http://serrum.org/archives/1084
foto: dokumentasi Komplotan Jakarta 32

Selasa, 14 Agustus 2012

Review Pameran Jepang @Edwin's Gallery


Mencermati (Pe)seni Rupa Kontemporer Jepang

PAMERAN seni rupa kontemporer Jepang diselenggarakan Edwin’s Gallery. Bertajuk “Fantasy and Absurd Reality of Japanese Contemporary Art”. Ini merupakan upaya menjalin pertalian untuk saling mencermati perkembangan kesenian antara Indonesia dan Jepang. Pameran ini menjadi sebuah perhelatan mandiri yang coba dibawa oleh Edwin’s Gallery untuk membuka pertukaran ide dan jejaring kerja secara lebih luas dalam posisi perkembangan kesenian antar kedua negara tersebut.

PAMERAN seni rupa kontemporer Jepang diselenggarakan Edwin’s Gallery. Tajuknya: Seniman yang dihadirkan merupakan seniman muda Jepang yang mungkin dapat mewakili dan yang sedang membangun kekuatan artistiknya dalam memperoleh posisi dalam peta perkembangan seni rupa kontemporer Jepang dewasa ini. Dalam pengantar kuratorial yang dicatat oleh Aminudin TH Siregar disebutkan bahwa karya-karya yang ditampilkan mengemukakan unsur-unsur fantasi dan imajinasi: animasi, komikal dan dunia ganjil anak-anak.


Identitas (ke)timur(an) yang menguatkan ide-ide unik secara kultural tampak menjadi kecenderungan karya-karya seniman Asia pada umumnya, terlepas dari realitas seni yang kebarat-baratan yang ditampilkan. Di Jepang, manga (komik) merupakan kultur yang dibangun sebagai identitas yang mewakili karakterisk negara tersebut yang mudah untuk diidentifikasi. Begitu pun pola pengembangan ide-ide fantasi yang dihadirkan pada karya seniman pada pameran ini, yang menjadi khas dengan karakteristik anima dan komikal.

Kecenderungan tersebut dapat dilihat pada karya Hiroyuki Matsuura dan Mayuka Yamamoto yang menampilkan figur dengan karakter animasi sesuai imajinasi sang pembuat. Mitsuri Watanabe pun demikian. Ia membuat sebuah figur seorang anak kecil yang dihadirkan dalam bentuk yang surealistik, dengan aktifitas umum anak-anak namun dihadirkan pada ruang-ruang yang aneh. Takafumi Hara mengambil unsur potongan komik dan menjadikannya sebuah karya lukis.

Jepang dengan perkembangan teknologi dan industri yang mendorong pesatnya kebudayaan pop tak luput dari subyek gagasan yang diangkat oleh seniman Showichi Kaneda. Dia menggambarkan  bentuk lain brand mobil balap F1 seperti pabrikan Ferrari dan Vodafone dalam pengalihan bentuk serupa ikan hiu. Lain halnya yang dilakukan oleh Tree, ia mencoba mengintervensi balik hasil kebudayaan populer, dengan menumpuk boneka anima anak-anak yang berbahan karet menjadi karya tiga dimensi ataupun meng-press nya menjadi karya relief yang menarik.

Keuletan merupakan bagian dari proses yang dibangun dalam penciptaan karya seni oleh seniman-seniman Asia Timur, seperti yang terjadi pada seniman Jepang. Ada karya tiga dimensi yang menampilkan bentuk surealistik dengan visual manusia dengan sebagian bentuk tubuh binatang. Karya ini digarap oleh Emiko Makino dengan mengetengahkan patung bermaterial utama kayu berukuran kecil-kecil dengan teknik penciptaan yang penuh ketekunan sehingga menghasilkan bentuk yang sangat detail, terutama pada jemari kaki dan tangan. Begitu pula dengan karya Tetsuya Noguchi dan Saturo Koizumi.

Lain hal pada karya dua dimensi seperti lukisan Kazuki Takamatsu. Lewat keahlian dan ketekunannya melukis dengan menumpuk cat dengan layer per-layer sehingga menghasilkan dimensi ruang yang mengagumkan. Begitu pula dengan U-Die. Seniman ini mengolah komik secara manual yang kemudian tersusun membentuk figur populer seperti Michael Jackson dan Marylin Monroe.

Karya-karya yang dipamerkan kecenderungan berukuran kecil, mungkin dapat dimengerti bahwa keterbatasan dan keamanan pengiriman karya menjadi kendala. Atau hal tersebut menjadi karakteristik karya seni rupa Jepang yang tak terbaca. Hal, yang menjadi pertanyaan adalah: apakah ini hanya sebagian kecil contoh dan representasi karya seni rupa Jepang yang dihadirkan dan masih banyak hal lain yang lebih besar dalam mewakili perkembangan seni rupa kontemporer Jepang seharusnya? Dan apakah ini tidak hanya selesai menjadi kepentingan penyelenggaran galeri untuk menatap “pasar”? ***

Angga Wijaya
Agustus 2012.
Hiroyuki Matsuura, "Patch Butch", Acrylic on Canvas, 92cmx92cm, 2011
Three "37 V" Mixed Media 45cmx81cm, 2012.
Showichi Kaneda "Human's Own EVO 7-Ferri Alonso" Acrylic Ureathans Paint, 112x42x40cm, 2012

Emiko Makino "Wind in the Upper" (Zekova, Oil paint, FRP, Glass) 40x14x15cm, 2010. 


U-Die "Marilyin Monroe" Mixed Media, 105,5 cmx99,5cm , 2012

Selasa, 31 Juli 2012

Review Pameran "Simpangan: Pameran Seni Patung Baru" Galeri Salihara


“Membaca Bahasa Seni Patung Baru”

GALERI Salihara, Jakarta, menggelar pameran yang bertajuk “Simpangan: Pameran Seni Patung Baru” yang diselenggarakan 28 Juli hingga 11 Agustus 2012. Para seniman terdiri dari empat belas seniman yang dapat mewakili kecenderungan tema yang diangkat, yakni Abdi Setiawan, Aditya Novali, Anusapati, Didi Kasi, Erwin Utoyo, Komroden Haro, Hadiwirman Saputra, Hardiman Radjab, Ichwan Noor, Nur Salomo, Redi Rahadian, Septian Hariyoga, Rudi Mantofani dan Yuli Prayitno. Para seniman itu dipilh oleh kurator Asikin Hasan sebagai upaya untuk membaca bahasa lain dari gejala seni rupa kontemporer: kekinian, yang dalam hal ini berkaitan dengan seni patung kontemporer.

Seni patung kontemporer yang mengandung kontradiksi terhadap paham seni patung modern yang secara esensial berkaitan erat dengan pendalaman material, ruang serta teknik yang menciptakan bentuk murni subjek dengan keindahan sebagai nilai utama. Sementara seni kontemporer yang bebas konvesi meleburkan batasan-batasan seni, terutama pada media. Sehingga muncullah karya seni dalam bentuk trimatra yang berbeda dengan seni patung yang dianggap keluar dari konservatisme paham modernis, seperti object art, seni instalasi danreadymades. Dari kedua kutub yang berbeda tersebutlah yang menjadi basis kajian atas gejala-gejala seni patung yang diasumsikan baru.

Jika membaca karya-karya yang ditampilkan melebur kepada esensi seni patung yang telah ada sebagai sebuah simpangan, maka ada upaya pengolahan bentuk trimatra tersebut sebagai bentuk visual yang dapat diartikan sebagai “baru”. Perupa senior Anusapati pada karyanya menampilkan distorsi atau pembalikan citra fungsi “baru” pada bentuk daun pintu yang digubahnya menjadi citra tangga. “Pintu tangga” ini dibuat dengan medium kayu. Karya dosen ISI Yogyakarta ini ditampilkan menempel pada dinding sebagai pemakaian ruang baru terhadap karya seni patung.

Lain halnya dengan karya Abdi Setiawan dengan karakteristiknya yang khas, karya realis. Selama ini patung manusia kayu karya Set—panggilan karib Abdi—memiliki kecenderungan mengambil bentuk visual kaum kelas bawah sebagai nilai gagasan seni kepada realitas yang mencerminkan keadaan lingkungan sekelilingnya. Sedangkan bentuk baru yang dihadirkan Hadiwirman Saputra yang mengangkat barang remeh-temeh, namun menurutnya barang tersebut tidak asal dicomot, tapi dipilih dengan segala ketekunan. Secara keseluruhan karya-karya yang dihadirkan dapat dikatakan tidak terlalu lebih baru dari yang telah dikreasi oleh para perupa yang berbasis karya patung itu. Dan tidak ada tendesi yang mewakili atas judul yang diberikan, namun terdapat aspek yang tetap ada dan masih sama dalam esensi terdalam seni patung sebagai bentuk karya seni tiga dimensi yaitu keruangan.

Asikin Hasan, selaku kurator pameran ini kurang lebih membahasakan seni rupa sebagai kapal yang akan karam karena dipenuhi oleh paham seni kontemporer yang memiliki batasan sangat luas sehingga tidak bisa menampung. Dan hal yang sangat disayangkan adalah esensi patung sebagai seni itu sendiri berpotensi akan ikut karam. Dari hal tersebut pameran yang diselenggarakan ingin mencoba untuk tidak melewatkan pemahaman esensi seni patung tersebut dengan perkembangan seni trimatra lainnya, untuk dibaca secara berbeda dalam perspektif seni. Namun nampaknya hal yang paling utama bukanlah selesai membicarakan perbedaan bahasa tersebut melainkan bagaimana kualitas karya seni dan dampak yang diberikannya untuk seni patung ke depannya. 

Angga Wijaya
 31 Juli 2012

*editorial oleh Kuss Indarto
dipublikasikan di http://www.indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=330
Senin, 06 Agustus 2012 - 08:18



Karya: Anusapati "Stairs"

Karya: Abdi Setiawan "Kelas Amatir"

Instalation View

Karya: Hardiwirman Saputra "Tak berakar, tak berpucuk #10"

Senin, 30 Juli 2012

Pengantar Diskusi Pameran EYA


EYA exhibition: Ronald Qodariansyah, Rau-Rau, Bopik  Coret, Dwi Penjol. Curated: Hari Otoy



PENGANTAR DISKUSI PAMERAN EYA
”Membaca Penentu Wajah Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta”
Oleh: Angga Wijaya

“In Progres with Trust”


Mungkin kalimat tersebut yang mencerminkan proses berkarya mahasiswa seni rupa di Universitas Negeri Jakarta, dengan segala keterbatasan yang justru membuat stimulus kreativitas dan inisiatifitas muncul sebagai api kecil yang terus menyala.


Universitas Negeri Jakarta merupakan Institusi berbasis pendidikan, salah satu Jurusan di dalamnya yaitu Pendidikan Seni Rupa,  yang mempelajari ilmu seni rupa dalam teori pendidikan. Tidak bisa dipungkiri dengan gelar lulusan Sarjana Pendidikan profesi keahlian yang siap pakai yaitu menjadi guru (pendidik). Walaupun demikian disiplin ilmu seni rupa yang menjadi prioritas utama sebagaimana ilmu tersebut yang bersifat keahlian (skil), dipelajari sebagai basic keahlian individu, yang banyak membuka peluang-peluang untuk menjadi profesi apapun dengan latar seni yang sangat luas, sesuai keinginan individu masing-masing yang menentukan.


Di satu sisi lain keberagaman profesi yang dapat dipilih tersebut menjadi bentuk ke-bias-an individu selama masih mengenyam pendidikan dalam menentukan profesi yang akan dipilihnya. Latar belakang pendidikan tersebut membentuk karakter berkesenian dalam Wajah Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta pada proses, teknik, dan hasil karya.


Sebagai Institusi Negeri pendidikan buatan pemerintah dengan segala minimnya prioritas untuk ilmu seni rupa yang dipandang sebelah mata ­hal ini tak sekonyong-konyong dikatakan, sebagaimana fakta pendidikan di Indonesia, di sekolah pelajaran kesenian masih menjadi pelajaran kelas dua. Minimnya sarana dan prasarana menjadi sebuah hal yang selalu “diteriaki” oleh mahasiswa dalam proses perkuliahan, seperti ruang dan alat berkarya. Tidak bisa kita salahkan sebagai institusi yang berbeda semacam IKJ, ISI Jogja, ITB yang merupakan institusi keahlian seni yang murni dan profesional. Namun dengan segala keterbatasan justru membentuk gerakan inisiatif yang kreatif, dengan penjelajahan yang mencari banyak kemungkinan-kemungkian untuk keluar dari keadaan tersebut.


Selain itu kejenuhan adalah suasana kedua yang mendorong untuk melakukan aktifitas kesenian, kita ketahui bahwa keadaan-keadaan tersebut menjadi semangat bermain-main yang dilakukan oleh mahasiswa seni rupa Universitas Negeri Jakarta.
Tidak semua mahasiswa ingin menjadi guru ataupun sebaliknya menjadi seniman dan profesi seni di luar pendidik ­­yang entah kenapa selalu ditakuti karena kekakuan, kemonotonan dan keterikatannya. Profesi guru bukan suatu profesi yang buruk, namun di satu hal apakah tidak ada opsi kita untuk berpikir luas dari paradigma lama.


Banyak karya-karya dari seni rupa Universitas Negeri Jakarta yang menekankan keahlian yang luar biasa dari masing-masing individu yang mendalami proses berkarya, namun tak bisa dielakan ada pula kecenderungan keahlian yang dimiliki sebatasnya saja. Dari ke dua jenis mahasiswa tersebut Individu-individu yang mempunyai semangat yang luar biasa dalam berkarya adalah individu yang berhasil keluar dari keterbatasan dan membentuk api kecil yang selalu menyala.


Motivasi pengajar yang kurang suatu kasus yang berbeda lagi, faktor ini menjadi penentu pemikiran untuk belajar lebih secara mandiri, mencari ilmu di luar dalam dunia yang lebih luas untuk diketahui yang tidak diajarkan di kampus. Merupakan salah satu faktor pula penentu ketidakpercayaan diri mahasiswa yang bermain di luar, lain halnya dengan Insitusi Seni Murni yang mempunyai pengajar lebih kompeten, yang membimbing dan memberi jalur keluar dalam ranah seni rupa yang luas dan profesional karena memang sudah jelas akan apa mereka menjadi. Namun dari hal keterbatasan itu lagi yang menekankan individu untuk keluar dari gang kecil walau tertatih-tatih.


Eksplorasi menjadi proses yang sering dilakukan, sehingga menghasilkan karya atau event yang tak terduga, menarik, menyenangkan yang kerap menjadi nama dan dikenal. Dan Kelompok merupakan badan yang hidup bersama-sama untuk eksistensi yang dijaga bagi keberlangsungan “kehidupan” aktifitas kesenian.


Bicara soal kualitas karya mungkin tak jauh bedanya dengan mahasiwa yang mengenyam Insititusi Seni Murni, secara konsep, teknik maupun visual, namun peluang yang kurang didapatkan menjadi kendala. Selain itu kurangnya apresiasi masing-masing mahasiswa untuk menghargai karya satu sama lain dan  kurangnya percaya diri  dalam profesionalitas seni yang seharusnya. Ucuk-ucuk gerakan inisiatif yang dilakukan sebatas hura-hura, yang hanya berhenti sebatas keluar dari kejenuhan keterbatasan yang telah dijelaskan, lalu terlupakan dan berujung pada individu-individu menyerah kepada keadaan kehidupan yang realitas.


Ada empat hal yang dijelaskan oleh Aminudi TH Siregar dalam proses keberkaryaan mahasiswa seni rupa yang masih mengenyam pendidikan, mungkin ini bisa menjadi renungan dalam apa yang terjadi dalam proses kita menjadi, “pertama, kami hanya ingin bergurau dengan keadaan. Kami mengakhiri romantisme kampus di malam hari, sebelum perbuatan kami ini dinilai serius, apalagi terjebak dalam keseriusan yang membuat kami harus berpura-pura serius. Kami percaya musuh besar yang kami andaikan itu sesungguhnya tidak ada, kami tahu hegemoni dalam seni itu semu, itu hanyalah fiksi yang sengaja kami kontruksikan agar terlihat keren, elegan dan intelek, karena kami adalah mahasiswa. Kedua, kami sadar perbuatan itu hanyalah sekedar eksperimen kreatif saja, yang ingin dinikmati dengan senang-senang. Keempat, saat itu kami sadar bahwa protes dalam seni, mengikuti Kritikus Barbara Rose, adalah wujud kecengengan seniman muda yang sengaja mencari perhatian dengan provokasi, subversi dan menyerempet tabu. Oleh karena itu, ketiga kami sadar bahwa kecenderungan demikian tidak layak dipelihara. Kami pun mengerti bahwa berkarya pada malam hari itu tak banyak gunanya. Semua karya kami ikhlaskan kembali menjadi sampah agar tidak disakralkan”.*

25 Juli 2009
Pkl 23:59




* Aminudin TH Siregar, “Seni Rupa Kontemporer Indonesia dirintis GSRB? Hmmmm...”, hal 31-33, Majalah Visual Arts, Edisi Desember 2010.