Review
Trienal Seni Grafis IV 2012
Perhelatan pameran Seni Grafis
tiga tahunan ini memasuki babak ke 4 pada tahun 2012, yang diselenggarakan pada
04-14 Oktober di Bentara Budaya Jakarta dan akan diselenggarakan di empat kota
lainnya, dimana Bentara Budaya bertempat, seperti Solo, Yogyakarta dan Bali.
Kompetisi yang menyaring para pengrafis secara nasional ini telah dibuka sejak
bulan Mei tahun ini, dan menghasilkan 51 karya dari 43 pameris.
Trienale Seni Grafis ke IV kali ini menekankan kembalinya seni grafis kepada kategori teknik
konvensional yang telah dikenal, yang terbagi menjadi empat bagian yaitu Cetak
Tinggi (Cukilan Kayu dan Lino), Cetak Datar (Litografi), Cetak Dalam (Etsa,
Drypoint, Mezzotint), dan Cetak Saring (Sablon). Seperti yang dijelaskan oleh
Ketua Dewan Juri, Aminudin TH Siregar yang ingin menegakan konsekuensi dan
subtansi Trienale terkait penggunaan istilah “seni grafis” tersebut, yang perlu
dipelihara dan dikembangkan untuk kedepannya sebagai komitmen dan konsistensi
”ideologi” perhelatan ini.
![]() |
Suasana pembukaan pameran |
![]() |
Pengunjung sedang mengapresiasi karya |
Kompetisi ini menghasilkan 3
pemenang, yaitu Agung Prabowo dengan judul karya “Nirbaya Jagratara (tak gentar
selalu waspada)” dengan teknik cukil lino menggunakan 16 warna sebagai juara
pertama. Dari karya Agung, mungkin kita akan bertanya bagaimana membuat
pewarnaan yang begitu banyak? Bahkan dengan medium yang cukup sulit untuk
menerapkan reduksi. Sedangkan juara ke dua yaitu M. Fadhil Abdi dengan judul
karya “Art, Girl, and Murder” memiliki kecakapan yang luar biasa pada teknik
Cukil Kayu yang sederhana namun dapat menghasilkan visual yang berdimensi tidak
plot atau blok (kecenderungan karya grafis). Dan pada juara ke tiga jatuh
kepada Theresia Agustina Sitompul yang mengemas karya Dry point menjadi sebuah Book Story yang begitu menarik dengan
judul “Book, Print and Memory”.
Pada tahun ini kompetisi dipenuhi
oleh para pameris muda, apakah ini akan menjadi nafas baru bagi keberlangsungan
seni grafis murni di Indonesia? Sebaliknya dalam kompetisi kali ini nama-nama
penggrafis sebelumnya yang lebih populer kurang terlihat, baik yang kerap
mengikuti event seni grafis maupun sudah menjadi seniman grafis ternama. Apakah
perhelatan kali ini kurang diminati atau diamini oleh seniman-seniman tersebut sebagai “pesta rakyat seni grafis” di Indonesia? Atau
seni grafis tidak begitu menjanjikan bagi pasar seniman tersebut? Dan mungkin
kembali ke Konvensi, membuat karya para seniman tersebut tidak terseleksi
disebabkan karya mereka sudah begitu eksploratif dengan paham kontemporer yang
lebih nge-trend di pasaran.
Melihat secara geografis
kompetisi ini didominasi oleh kota Bandung dan Yogyakarta, selain itu hanya ada
perwakilan masing-masing satu atau dua nama dari kota Solo, Bali, dan Padang.
Yogyakarta dan Bandung masih menjadi kutub persaingan seni rupa di Indonesia,
dua kota ini memang paling produktif menghasilkan seniman. Hal tersebut tak
bisa dielakan bahwa sarana dan prasarana kesenian lebih tersedia, seperti
hal-nya dua Institusi yang terdapat di dua kota tersebut yaitu ISI Yogyakarta
dan ITB. Melihat ranah seni grafis kedua kota tersebut dengan masing-masing Institusi-nya
telah membuat pemahaman bagi keberlangsungan seni grafis di Indonesia sampai
saat ini. ITB sarana untuk proses penciptaan seni grafis cetak datar
(Litografi) dan cetak dalam (Etsa, Drypoint, Mezzotint) di Indonesia hanya
tersedia disana. Sedangkan di Yogyakarta sesuai dengan atmosfer kesenian yang
begitu deras, sampai saat ini seni grafis juga masih menjadi medium proses penciptaan
karya yang digemari.
![]() |
Karya pemenang pertama: Agung Prabowo |
![]() |
Pemenang ke dua: M. Fadhlil Abdi |
![]() |
Pemenang ke tiga: Theresia Agustina Sitompul |
Pada tahun ini pula Cetak Tinggi
seperti Cukil Kayu (Wood Cut) masih menjadi media yang paling banyak digunakan
oleh pameris, hal itu dapat dikatakan karena media tersebut paling mudah
didapatkan, digunakan dan dieksplorasi. Cetak Tinggi dapat dikerjakan secara
lebih simple dan mandiri ketimbang
teknik grafis lainnya, yang membutuhkan perangkat dan tempat (studio) yang
memumpuni dan mendukung proses penciptaan teknik tersebut, seperti Cetak Datar
dan Cetak Dalam yang media pun sulit didapatkan. Sedangkan Cetak Saring (Sablon)
dalam perhelatan tahun ini hanya satu karya yang dihadirkan, dikarenakan belum
banyak yang menyadari pemakaian teknik ini sebagai sebuah karya seni yang murni
ketimbang pemakaian untuk industri.
Dengan mengembalikan seni grafis
ke konvensi lama, telah membuat pengkrucutan pada hasil seleksi karya-karya
grafis yang dihadirkan, kecenderungan yang terjadi yaitu kurangnya eksplorasi
pada pengembangan teknik seni grafis yang lain, sehingga banyak karya yang hadir
hanya menggunakan media yang paling populer yaitu Cetak Tinggi (Cukil Kayu). Menjadikan hal yang paling terpenting dikedepankan yaitu esensi dari “seni
grafis” (proses dan teknis) ketimbang dari hasil yang maksimal dari sebuah
karya, terutama visual.
Ada beberapa karya yang dapat
dikatakan kurang baik secara visual, misalkan keseimbangan warna antara hitam
dan putih, antara yang dicukil dan yang tercetak sehingga visual yang dihasilkan dapat jelas
terlihat dan estetik dipandang. Namun hal tersebut hanya sebagian pandangan
kecil dari kompetisi ini, dari keterbatasan konvensi yang ditetapkan juga tak
mengurangi para pameris untuk berhasil menutupi kekurangan tersebut, terutama
dalam kecakapan secara teknik yang luarbiasa. Konsekuensi yang ditetapkan oleh
dewan juri tersebut setidaknya dapat mengkokohkan nilai dari esensi seni grafis
dari pengertian mengenai “seni cetak” yang sangat luas dan dari penyerbuan arus
paham seni kontemporer yang semakin bias dan bebas.
Angga
Wijaya
Oktober 2012
tulisan ini diposting pula di: