“Membaca Bahasa
Seni Patung Baru”
GALERI Salihara, Jakarta, menggelar pameran yang bertajuk “Simpangan: Pameran Seni Patung Baru” yang diselenggarakan 28 Juli hingga 11 Agustus 2012. Para seniman terdiri dari empat belas seniman yang dapat mewakili kecenderungan tema yang diangkat, yakni Abdi Setiawan, Aditya Novali, Anusapati, Didi Kasi, Erwin Utoyo, Komroden Haro, Hadiwirman Saputra, Hardiman Radjab, Ichwan Noor, Nur Salomo, Redi Rahadian, Septian Hariyoga, Rudi Mantofani dan Yuli Prayitno. Para seniman itu dipilh oleh kurator Asikin Hasan sebagai upaya untuk membaca bahasa lain dari gejala seni rupa kontemporer: kekinian, yang dalam hal ini berkaitan dengan seni patung kontemporer.
Seni patung kontemporer yang mengandung kontradiksi terhadap paham seni patung modern yang secara esensial berkaitan erat dengan pendalaman material, ruang serta teknik yang menciptakan bentuk murni subjek dengan keindahan sebagai nilai utama. Sementara seni kontemporer yang bebas konvesi meleburkan batasan-batasan seni, terutama pada media. Sehingga muncullah karya seni dalam bentuk trimatra yang berbeda dengan seni patung yang dianggap keluar dari konservatisme paham modernis, seperti object art, seni instalasi danreadymades. Dari kedua kutub yang berbeda tersebutlah yang menjadi basis kajian atas gejala-gejala seni patung yang diasumsikan baru.
Jika membaca karya-karya yang ditampilkan melebur kepada esensi seni patung yang telah ada sebagai sebuah simpangan, maka ada upaya pengolahan bentuk trimatra tersebut sebagai bentuk visual yang dapat diartikan sebagai “baru”. Perupa senior Anusapati pada karyanya menampilkan distorsi atau pembalikan citra fungsi “baru” pada bentuk daun pintu yang digubahnya menjadi citra tangga. “Pintu tangga” ini dibuat dengan medium kayu. Karya dosen ISI Yogyakarta ini ditampilkan menempel pada dinding sebagai pemakaian ruang baru terhadap karya seni patung.
Lain halnya dengan karya Abdi Setiawan dengan karakteristiknya yang khas, karya realis. Selama ini patung manusia kayu karya Set—panggilan karib Abdi—memiliki kecenderungan mengambil bentuk visual kaum kelas bawah sebagai nilai gagasan seni kepada realitas yang mencerminkan keadaan lingkungan sekelilingnya. Sedangkan bentuk baru yang dihadirkan Hadiwirman Saputra yang mengangkat barang remeh-temeh, namun menurutnya barang tersebut tidak asal dicomot, tapi dipilih dengan segala ketekunan. Secara keseluruhan karya-karya yang dihadirkan dapat dikatakan tidak terlalu lebih baru dari yang telah dikreasi oleh para perupa yang berbasis karya patung itu. Dan tidak ada tendesi yang mewakili atas judul yang diberikan, namun terdapat aspek yang tetap ada dan masih sama dalam esensi terdalam seni patung sebagai bentuk karya seni tiga dimensi yaitu keruangan.
Asikin Hasan, selaku kurator pameran ini kurang lebih membahasakan seni rupa sebagai kapal yang akan karam karena dipenuhi oleh paham seni kontemporer yang memiliki batasan sangat luas sehingga tidak bisa menampung. Dan hal yang sangat disayangkan adalah esensi patung sebagai seni itu sendiri berpotensi akan ikut karam. Dari hal tersebut pameran yang diselenggarakan ingin mencoba untuk tidak melewatkan pemahaman esensi seni patung tersebut dengan perkembangan seni trimatra lainnya, untuk dibaca secara berbeda dalam perspektif seni. Namun nampaknya hal yang paling utama bukanlah selesai membicarakan perbedaan bahasa tersebut melainkan bagaimana kualitas karya seni dan dampak yang diberikannya untuk seni patung ke depannya.
Seni patung kontemporer yang mengandung kontradiksi terhadap paham seni patung modern yang secara esensial berkaitan erat dengan pendalaman material, ruang serta teknik yang menciptakan bentuk murni subjek dengan keindahan sebagai nilai utama. Sementara seni kontemporer yang bebas konvesi meleburkan batasan-batasan seni, terutama pada media. Sehingga muncullah karya seni dalam bentuk trimatra yang berbeda dengan seni patung yang dianggap keluar dari konservatisme paham modernis, seperti object art, seni instalasi danreadymades. Dari kedua kutub yang berbeda tersebutlah yang menjadi basis kajian atas gejala-gejala seni patung yang diasumsikan baru.
Jika membaca karya-karya yang ditampilkan melebur kepada esensi seni patung yang telah ada sebagai sebuah simpangan, maka ada upaya pengolahan bentuk trimatra tersebut sebagai bentuk visual yang dapat diartikan sebagai “baru”. Perupa senior Anusapati pada karyanya menampilkan distorsi atau pembalikan citra fungsi “baru” pada bentuk daun pintu yang digubahnya menjadi citra tangga. “Pintu tangga” ini dibuat dengan medium kayu. Karya dosen ISI Yogyakarta ini ditampilkan menempel pada dinding sebagai pemakaian ruang baru terhadap karya seni patung.
Lain halnya dengan karya Abdi Setiawan dengan karakteristiknya yang khas, karya realis. Selama ini patung manusia kayu karya Set—panggilan karib Abdi—memiliki kecenderungan mengambil bentuk visual kaum kelas bawah sebagai nilai gagasan seni kepada realitas yang mencerminkan keadaan lingkungan sekelilingnya. Sedangkan bentuk baru yang dihadirkan Hadiwirman Saputra yang mengangkat barang remeh-temeh, namun menurutnya barang tersebut tidak asal dicomot, tapi dipilih dengan segala ketekunan. Secara keseluruhan karya-karya yang dihadirkan dapat dikatakan tidak terlalu lebih baru dari yang telah dikreasi oleh para perupa yang berbasis karya patung itu. Dan tidak ada tendesi yang mewakili atas judul yang diberikan, namun terdapat aspek yang tetap ada dan masih sama dalam esensi terdalam seni patung sebagai bentuk karya seni tiga dimensi yaitu keruangan.
Asikin Hasan, selaku kurator pameran ini kurang lebih membahasakan seni rupa sebagai kapal yang akan karam karena dipenuhi oleh paham seni kontemporer yang memiliki batasan sangat luas sehingga tidak bisa menampung. Dan hal yang sangat disayangkan adalah esensi patung sebagai seni itu sendiri berpotensi akan ikut karam. Dari hal tersebut pameran yang diselenggarakan ingin mencoba untuk tidak melewatkan pemahaman esensi seni patung tersebut dengan perkembangan seni trimatra lainnya, untuk dibaca secara berbeda dalam perspektif seni. Namun nampaknya hal yang paling utama bukanlah selesai membicarakan perbedaan bahasa tersebut melainkan bagaimana kualitas karya seni dan dampak yang diberikannya untuk seni patung ke depannya.
Angga Wijaya
31 Juli 2012
*editorial oleh Kuss Indarto
dipublikasikan di http://www.indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=330
Senin, 06 Agustus 2012 - 08:18
*editorial oleh Kuss Indarto
dipublikasikan di http://www.indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=330
Senin, 06 Agustus 2012 - 08:18
![]() |
Karya: Anusapati "Stairs" |
![]() |
Karya: Abdi Setiawan "Kelas Amatir" |
![]() |
Instalation View |
![]() |
Karya: Hardiwirman Saputra "Tak berakar, tak berpucuk #10" |
Akhirnya ada yang sharing juga.
BalasHapusTrims infonya ya...
Oh ya sekedar info aja nih, bagi yang membutuhkan Rental Genset untuk keperluan berbagai acara seperti pameran, workshop, meeting atau lainnya bisa coba hubungi kami Arthur Teknik.
Makasih min,
Salam blogger ya.