Senin, 05 November 2012

Pameran Tunggal Nasirun "Uwuh Seni"


Dua Sisi (1.000-an lukisan) Nasirun

“Uwuh Seni” jika diartikan dari bahasa Jawa yang berarti Sampah Seni. Nasirun telah lama mengumpulkan undangan peristiwa kesenian, yang kemudian ia lukis kertas undangan tersebut, membingkainya, disimpan dalam box bingkai, diberi judul dan menempelkan foto karya tersebut pada bungkus bingkainya, sehingga dengan mudah ia mencari lukisan tersebut yang sudah terkumpul begitu banyak. Dua tahun lalu ia memperlihatkan salah satu contoh karya-nya itu saat saya berkunjung ke rumah beliau, luar biasa yang saya kira apa yang dilakukan Nasirun pada saat itu hanya sekedar “kurang kerjaan” namun tak disangka karya-karya tersebut berkecapaian untuk dipamerkan di Galeri Salihara sebagai Pameran Tunggal Nasirun yang berjudul “Uwuh Seni”, sungguh kerja kreatif yang sangat mengagumkan, dengan ketekunan dan kerja keras, beliau tak henti dan bosan melukiskan undangan tersebut sampai menembus angka 1.000-an buah karya.




Berbicara mengenai Nasirun
Berbicara Nasirun, berarti membicarakan pula kepribadiannya, kepribadian yang ramah dan apa adanya,  kesuksesannya dalam dunia seni rupa Indonesia tak membuatnya berubah, hidupnya tetap menampilkan kesederhanaan dan kesahajaan, pintu rumahnya selalu terbuka untuk siapapun. Hal yang menarik dari cerita kebanyakan orang tentang beliau, seperti pada pukul 02.00 sampai 04.00 siang hari merupakan jam yang tak dapat diganggu oleh siapapun, bahkan “Presiden” sekalipun jika beliau sedang tidur siang. Lalu kegemarannya terhadap taman dan tanaman, mengisi kegiatan beliau untuk menyapu halaman rumah-nya dan menyiram koleksi tanaman adalah aktifitas yang tak terlewatkan. Sehingga ada sebuah kejadian lucu, saat seorang pejabat penting mengunjungi rumah beliau untuk mengoleksi karya Nasirun secara langsung, pejabat itu tak percaya bahwa seseorang dengan penampilan yang biasa-biasa saja –yang lebih mirip seperti tukang sapu, sedang menyapu halaman tersebut adalah pemilik rumah yang bernama Nasirun. Begitu banyak hal yang menarik mengenai cerita dari seniman ini. Sosok welcome terhadap siapapun tersebut yang membuat beliau banyak dihormati sebagai seniman ternama Jogja, ketika saya berkunjung ke rumah seniman lain di Jogja, seniman-seniman lain tersebut kerap menanyakan hal yang sama terhadap saya yaitu “Sudah ke rumah Nasirun?”, bahkan ada yang membuat tebak-tebakan menggelitik  berbunyi seperti ini “Nasi, nasi apa yang sering dicari di Jogja?” Jika kita beranggapan jawabannya adalah Nasi Kucing ternyata salah, jawaban tersebut yaitu Nasirun.

Keberadaan Nasirun merupakan dua sisi antara yang Tradisi dan yang Modern, Nasirun selain dalam kepribadiannya yang kental terhadap nilai tradisi. Seperti pada perilakunya yang tidak menggunakan telepon seluler dan komputer dalam kehidupan keseharian, padahal kehadiran teknologi tersebut tidak bisa kita bantah dalam dunia Modern yang sangat kita perlukan, dunia yang dimana sekarang beliau alami.

Hal itu pun tercermin dalam proses keberkaryaan, nilai tersebut dijunjungnya sebagai karakteristik karya-karya beliau, jika perupa Jogja yang lain sibuk mengambil citraan “Pop” seperti karakter komik Amerika dan China yang sedang booming dengan istilah kontemporer, Nasirun hadir dengan fitur-fitur simbol tradisi Jawa dan Islam, menggambarkan sebagian sosok wayang yang sudah ada (lama), namun dapat dibilang baru karena wayang yang dihadirkan Nasirun telah dimodifikasi, dilebur kembali terhadap nilai Modern yang sedang terjadi. Karya-karya Nasirun tersebut memperkuat persepi bahwa nilai tradisi (Low Art) telah menjadi bagian dari pemaham seni kontemporer, salah kiranya menurut pribadi saya jika karya-karya Nasirun tidak disebut kontemporer, bahkan menurut saya karya-karya Nasirun merupakan jawaban dari Seni Rupa Kontemporer Indonesia.

Kerja kreatif-nya dalam dunia seni rupa, Nasirun jalani semua dengan apa yang disebut beliau sebagai kegembiraan, ia melukis selalu dengan rasa senang, apapun dicoba dengan mengeksplorasi berbagai media, menurutnya melukis tidak harus dibidang kanvas, mengutip pengantar pameran “Uwuh Seni” yang ditulis oleh Nirwan Dewanto, bagi Nasirun, Seni Lukis bisa berarti menghias, mengindahkan—dalam arti memperindah sekaligus memperhitungkan—bahan-bahan bekas, dan demikianlah si pelukis menjalankan semacam daur-ulang dengan caranya sendiri. Dari kecenderungan mengeksplorasi benda yang ada disekitarnya bahkan dapat dikatakan sudah menjadi sampah, merupakan sebuah kegiatan yang mengisi hidupnya, mengisi proses keberkaryaan beliau, sehingga dapat dikatakan Nasirun adalah seniman yang begitu kreatif dan produktif, sudah banyak kolektor yang ingin memiliki karya-nya, bahkan kanvas kosongpun sudah dipesan, seperti yang ia ceritakan bahwa beliau begitu banyak hutang karya yang belum dipenuhi dan pameran yang belum terselenggara untuk ia ikuti, kira-kira sampai tahun 2013.



Berbicara Pameran Tunggal Nasirun: “Uwuh Seni”
Nasirun merupakan seniman “kesayangan” Dr. Oei Hong Djien, hal itu diakui oleh sang kolektor yang membuka Pameran Tunggal Nasirun “Uwuh Seni” pada Sabtu malam, tanggal 03 November 2012. Selain itu sambutan berikutnya oleh Syakieb Sungkar dan Goenawan Mohamad selaku perwakilan Komunitas Salihara. Rombongan seniman dan pekerja seni Jogja ikut datang, yang turut membantu penyelenggaran pameran Nasirun selain sebagai bentuk apresiasi terhadap sang Seniman ini.

Pameran yang berlangsung sampai tanggal 25 November 2012 ini menampilkan 1.000-an kertas undangan yang telah mewujud menjadi karya lukis yang dikerjakan oleh Nasirun semenjak tahun 2008. Nasirun merespon berbagai undangan yang ia punya, undangan peristiwa kesenian: pameran seni rupa, teater dan bentuk kesenian lainnya. Undangan tersebut diberikan dari berbagai pihak, seperti kerabat Seniman, Gallery, Institusi dan Lembaga. Undangan memiliki nilai “rasa hormat” dari si empunya acara kepada orang yang diundang, ada makna di dalamnya dalam hal keberadaan dan sifat sosialisasi, sebuah rekam sejarah yang menyatakan peristiwa tersebut akan berlangsung dan menjadi kenangan setelah acara telah berlangsung. Sebab itulah Nasirun mengumpulkannya yang mungkin dari kebanyakan orang menilai bahwa bekas undang tersebut sudah menjadi sampah dan akan dibuang. Sikap kreatif Nasirun ini mengubah sampah menjadi “emas”,  kebiasan mengumpulkan bekas undangan ini serupa dengan kegemarannya yang lain seperti mengoleksi tanaman dan hal yang “sepele” lainnya, peralatan melukis yang tidak dipakai, palet, kuas, tabung cat, rebana, botol, bahkan buah kelapa kering yang jatuh di halaman rumah-nya. Bagi Nasirun bekas undangan tersebut mengingatkannya akan sebuah perubahan waktu, seperti yang dijelakan oleh Asikin Hasan selaku kurator pameran, bahwa disitu ada Drama kebergunaan dan akhir dari sebuah guna—menjadi sampah, yang silih berganti dengan berbagai model undangan, ditulis tangan, diketik, dicetak manual dan digital.

Terdapat gambar dan teks yang sudah tertera dalam setiap undangan, citraan itu yang ia respon; menambahkan gambar atau teks, menghapus sesuatu yang menurutnya tidak perlu, mewarnainya kembali sesuai selera, membentuk bidang yang lain sehingga menghasilkan komposisi baru, atau benar-benar menghabiskan ruang kertas tersebut dari jejak awal citraan yang ada. Nasirun melukiskannya dengan ekspresif, goresan kasar, lelehan cat, atau mengisinya dengan garis tegas dan dinamis berkecenderungan seperti kaligrafi, tak kecuali terdapat sosok wayang dan makhluk antah berantah terlihat seperti dedemit, pada warnapun ia kebanyakan memakai warna komplementer dan warna-warna tembaga, emas maupun perak. Hasil yang terjadi pada setiap karya-karya-nya memiliki makna personal seniman dalam  meresponsif secara sadar dari setiap isi bekas undangan tersebut yang berdiri sendiri maupun terlihat berangkaian dari masing-masing banyaknya karya yang terjalin.





Ribuan karya dengan berukuran kecil-kecil dan bevariasi tersebut ditata seperti membentuk instalasi karya dua dimensi. Hery Permad Management turut membantu mengatur penataan pameran Nasirun ini, dengan begitu banyak karya, penataan tidak terlihat mendesak namun dapat dibentuk lebih pas dipandang jarak mata dalam ruang pamer yang minimalis berbentuk singular tersebut. Hal yang menarik selain lukisan ini dipajang dengan bingkai, pada tengah galeri, karya lainnya di-display dengan kaca transparan yang dapat kita lihat secara dua sisi, untuk kita melihat satu sisi lainnya, isi dibalik undangan tersebut, siapa yang mengundang dan pada perhelatan apa, sehingga kita mendapat memahami responsif apa yang dilakukan sang seniman dalam isi bekas undangan tersebut. Secara pribadi saya beranggapan baru pertama kali ini saya mengunjungi pameran seni rupa di Galeri Salihara tertata begitu  apik. Jika mencermati begitu banyak lukisan, yang terjadi bukan membosankan, namun membuat kita penasaran pada setiap satu-persatu karyanya.

Pameran tunggal yang untuk kesekian kalinya ini merupakan sebuah titik pencapaian Nasirun dalam setiap kerja kreatif-nya yang tak henti-henti bereksplorasi dalam proses penciptaan karya-karyanya. “Uwuh Seni” yang menampilan Dua Sisi, antara yang lama menjadi yang baru, yang tradisi dan yang modern dan sifat undangan tersebut; antara dua sisinya, yang terlukis dan yang tertinggal. Pameran ini dapat dikatakan sebuah rekor dengan 1.000-an karya, sudah sepatutnya kita mengapresiasi ketekukan dari seniman ini dan apa yang telah diberikan Nasirun terhadap kesenian Indonesia.


Angga Wijaya
November 2012

foto oleh : INDOARTNOW
Database Komunitas Salihara
dapat dilihat di http://www.flickr.com/photos/salihara/sets/72157631927525894