Selasa, 31 Juli 2012

Review Pameran "Simpangan: Pameran Seni Patung Baru" Galeri Salihara


“Membaca Bahasa Seni Patung Baru”

GALERI Salihara, Jakarta, menggelar pameran yang bertajuk “Simpangan: Pameran Seni Patung Baru” yang diselenggarakan 28 Juli hingga 11 Agustus 2012. Para seniman terdiri dari empat belas seniman yang dapat mewakili kecenderungan tema yang diangkat, yakni Abdi Setiawan, Aditya Novali, Anusapati, Didi Kasi, Erwin Utoyo, Komroden Haro, Hadiwirman Saputra, Hardiman Radjab, Ichwan Noor, Nur Salomo, Redi Rahadian, Septian Hariyoga, Rudi Mantofani dan Yuli Prayitno. Para seniman itu dipilh oleh kurator Asikin Hasan sebagai upaya untuk membaca bahasa lain dari gejala seni rupa kontemporer: kekinian, yang dalam hal ini berkaitan dengan seni patung kontemporer.

Seni patung kontemporer yang mengandung kontradiksi terhadap paham seni patung modern yang secara esensial berkaitan erat dengan pendalaman material, ruang serta teknik yang menciptakan bentuk murni subjek dengan keindahan sebagai nilai utama. Sementara seni kontemporer yang bebas konvesi meleburkan batasan-batasan seni, terutama pada media. Sehingga muncullah karya seni dalam bentuk trimatra yang berbeda dengan seni patung yang dianggap keluar dari konservatisme paham modernis, seperti object art, seni instalasi danreadymades. Dari kedua kutub yang berbeda tersebutlah yang menjadi basis kajian atas gejala-gejala seni patung yang diasumsikan baru.

Jika membaca karya-karya yang ditampilkan melebur kepada esensi seni patung yang telah ada sebagai sebuah simpangan, maka ada upaya pengolahan bentuk trimatra tersebut sebagai bentuk visual yang dapat diartikan sebagai “baru”. Perupa senior Anusapati pada karyanya menampilkan distorsi atau pembalikan citra fungsi “baru” pada bentuk daun pintu yang digubahnya menjadi citra tangga. “Pintu tangga” ini dibuat dengan medium kayu. Karya dosen ISI Yogyakarta ini ditampilkan menempel pada dinding sebagai pemakaian ruang baru terhadap karya seni patung.

Lain halnya dengan karya Abdi Setiawan dengan karakteristiknya yang khas, karya realis. Selama ini patung manusia kayu karya Set—panggilan karib Abdi—memiliki kecenderungan mengambil bentuk visual kaum kelas bawah sebagai nilai gagasan seni kepada realitas yang mencerminkan keadaan lingkungan sekelilingnya. Sedangkan bentuk baru yang dihadirkan Hadiwirman Saputra yang mengangkat barang remeh-temeh, namun menurutnya barang tersebut tidak asal dicomot, tapi dipilih dengan segala ketekunan. Secara keseluruhan karya-karya yang dihadirkan dapat dikatakan tidak terlalu lebih baru dari yang telah dikreasi oleh para perupa yang berbasis karya patung itu. Dan tidak ada tendesi yang mewakili atas judul yang diberikan, namun terdapat aspek yang tetap ada dan masih sama dalam esensi terdalam seni patung sebagai bentuk karya seni tiga dimensi yaitu keruangan.

Asikin Hasan, selaku kurator pameran ini kurang lebih membahasakan seni rupa sebagai kapal yang akan karam karena dipenuhi oleh paham seni kontemporer yang memiliki batasan sangat luas sehingga tidak bisa menampung. Dan hal yang sangat disayangkan adalah esensi patung sebagai seni itu sendiri berpotensi akan ikut karam. Dari hal tersebut pameran yang diselenggarakan ingin mencoba untuk tidak melewatkan pemahaman esensi seni patung tersebut dengan perkembangan seni trimatra lainnya, untuk dibaca secara berbeda dalam perspektif seni. Namun nampaknya hal yang paling utama bukanlah selesai membicarakan perbedaan bahasa tersebut melainkan bagaimana kualitas karya seni dan dampak yang diberikannya untuk seni patung ke depannya. 

Angga Wijaya
 31 Juli 2012

*editorial oleh Kuss Indarto
dipublikasikan di http://www.indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=330
Senin, 06 Agustus 2012 - 08:18



Karya: Anusapati "Stairs"

Karya: Abdi Setiawan "Kelas Amatir"

Instalation View

Karya: Hardiwirman Saputra "Tak berakar, tak berpucuk #10"

Senin, 30 Juli 2012

Pengantar Diskusi Pameran EYA


EYA exhibition: Ronald Qodariansyah, Rau-Rau, Bopik  Coret, Dwi Penjol. Curated: Hari Otoy



PENGANTAR DISKUSI PAMERAN EYA
”Membaca Penentu Wajah Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta”
Oleh: Angga Wijaya

“In Progres with Trust”


Mungkin kalimat tersebut yang mencerminkan proses berkarya mahasiswa seni rupa di Universitas Negeri Jakarta, dengan segala keterbatasan yang justru membuat stimulus kreativitas dan inisiatifitas muncul sebagai api kecil yang terus menyala.


Universitas Negeri Jakarta merupakan Institusi berbasis pendidikan, salah satu Jurusan di dalamnya yaitu Pendidikan Seni Rupa,  yang mempelajari ilmu seni rupa dalam teori pendidikan. Tidak bisa dipungkiri dengan gelar lulusan Sarjana Pendidikan profesi keahlian yang siap pakai yaitu menjadi guru (pendidik). Walaupun demikian disiplin ilmu seni rupa yang menjadi prioritas utama sebagaimana ilmu tersebut yang bersifat keahlian (skil), dipelajari sebagai basic keahlian individu, yang banyak membuka peluang-peluang untuk menjadi profesi apapun dengan latar seni yang sangat luas, sesuai keinginan individu masing-masing yang menentukan.


Di satu sisi lain keberagaman profesi yang dapat dipilih tersebut menjadi bentuk ke-bias-an individu selama masih mengenyam pendidikan dalam menentukan profesi yang akan dipilihnya. Latar belakang pendidikan tersebut membentuk karakter berkesenian dalam Wajah Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta pada proses, teknik, dan hasil karya.


Sebagai Institusi Negeri pendidikan buatan pemerintah dengan segala minimnya prioritas untuk ilmu seni rupa yang dipandang sebelah mata ­hal ini tak sekonyong-konyong dikatakan, sebagaimana fakta pendidikan di Indonesia, di sekolah pelajaran kesenian masih menjadi pelajaran kelas dua. Minimnya sarana dan prasarana menjadi sebuah hal yang selalu “diteriaki” oleh mahasiswa dalam proses perkuliahan, seperti ruang dan alat berkarya. Tidak bisa kita salahkan sebagai institusi yang berbeda semacam IKJ, ISI Jogja, ITB yang merupakan institusi keahlian seni yang murni dan profesional. Namun dengan segala keterbatasan justru membentuk gerakan inisiatif yang kreatif, dengan penjelajahan yang mencari banyak kemungkinan-kemungkian untuk keluar dari keadaan tersebut.


Selain itu kejenuhan adalah suasana kedua yang mendorong untuk melakukan aktifitas kesenian, kita ketahui bahwa keadaan-keadaan tersebut menjadi semangat bermain-main yang dilakukan oleh mahasiswa seni rupa Universitas Negeri Jakarta.
Tidak semua mahasiswa ingin menjadi guru ataupun sebaliknya menjadi seniman dan profesi seni di luar pendidik ­­yang entah kenapa selalu ditakuti karena kekakuan, kemonotonan dan keterikatannya. Profesi guru bukan suatu profesi yang buruk, namun di satu hal apakah tidak ada opsi kita untuk berpikir luas dari paradigma lama.


Banyak karya-karya dari seni rupa Universitas Negeri Jakarta yang menekankan keahlian yang luar biasa dari masing-masing individu yang mendalami proses berkarya, namun tak bisa dielakan ada pula kecenderungan keahlian yang dimiliki sebatasnya saja. Dari ke dua jenis mahasiswa tersebut Individu-individu yang mempunyai semangat yang luar biasa dalam berkarya adalah individu yang berhasil keluar dari keterbatasan dan membentuk api kecil yang selalu menyala.


Motivasi pengajar yang kurang suatu kasus yang berbeda lagi, faktor ini menjadi penentu pemikiran untuk belajar lebih secara mandiri, mencari ilmu di luar dalam dunia yang lebih luas untuk diketahui yang tidak diajarkan di kampus. Merupakan salah satu faktor pula penentu ketidakpercayaan diri mahasiswa yang bermain di luar, lain halnya dengan Insitusi Seni Murni yang mempunyai pengajar lebih kompeten, yang membimbing dan memberi jalur keluar dalam ranah seni rupa yang luas dan profesional karena memang sudah jelas akan apa mereka menjadi. Namun dari hal keterbatasan itu lagi yang menekankan individu untuk keluar dari gang kecil walau tertatih-tatih.


Eksplorasi menjadi proses yang sering dilakukan, sehingga menghasilkan karya atau event yang tak terduga, menarik, menyenangkan yang kerap menjadi nama dan dikenal. Dan Kelompok merupakan badan yang hidup bersama-sama untuk eksistensi yang dijaga bagi keberlangsungan “kehidupan” aktifitas kesenian.


Bicara soal kualitas karya mungkin tak jauh bedanya dengan mahasiwa yang mengenyam Insititusi Seni Murni, secara konsep, teknik maupun visual, namun peluang yang kurang didapatkan menjadi kendala. Selain itu kurangnya apresiasi masing-masing mahasiswa untuk menghargai karya satu sama lain dan  kurangnya percaya diri  dalam profesionalitas seni yang seharusnya. Ucuk-ucuk gerakan inisiatif yang dilakukan sebatas hura-hura, yang hanya berhenti sebatas keluar dari kejenuhan keterbatasan yang telah dijelaskan, lalu terlupakan dan berujung pada individu-individu menyerah kepada keadaan kehidupan yang realitas.


Ada empat hal yang dijelaskan oleh Aminudi TH Siregar dalam proses keberkaryaan mahasiswa seni rupa yang masih mengenyam pendidikan, mungkin ini bisa menjadi renungan dalam apa yang terjadi dalam proses kita menjadi, “pertama, kami hanya ingin bergurau dengan keadaan. Kami mengakhiri romantisme kampus di malam hari, sebelum perbuatan kami ini dinilai serius, apalagi terjebak dalam keseriusan yang membuat kami harus berpura-pura serius. Kami percaya musuh besar yang kami andaikan itu sesungguhnya tidak ada, kami tahu hegemoni dalam seni itu semu, itu hanyalah fiksi yang sengaja kami kontruksikan agar terlihat keren, elegan dan intelek, karena kami adalah mahasiswa. Kedua, kami sadar perbuatan itu hanyalah sekedar eksperimen kreatif saja, yang ingin dinikmati dengan senang-senang. Keempat, saat itu kami sadar bahwa protes dalam seni, mengikuti Kritikus Barbara Rose, adalah wujud kecengengan seniman muda yang sengaja mencari perhatian dengan provokasi, subversi dan menyerempet tabu. Oleh karena itu, ketiga kami sadar bahwa kecenderungan demikian tidak layak dipelihara. Kami pun mengerti bahwa berkarya pada malam hari itu tak banyak gunanya. Semua karya kami ikhlaskan kembali menjadi sampah agar tidak disakralkan”.*

25 Juli 2009
Pkl 23:59




* Aminudin TH Siregar, “Seni Rupa Kontemporer Indonesia dirintis GSRB? Hmmmm...”, hal 31-33, Majalah Visual Arts, Edisi Desember 2010.